Kamis, 28 Mar 2024, 10:36:48

12:26:40
( EPISODE 5 ) ISKANDAR ZULKARNAIN YANG AGUNG | BENARKAH NENEK MOYANG ORANG MINANGKABAU ? |
Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:
  • Adityawarman (1339-1376)
  • Ananggawarman (1376)

  • Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam

  • Yang Dipertuan Sultan Pasambahan

  • Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah

  • Yang Dipertuan Sultan Barandangan

  • Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)

  • Yang Dipertuan Sultan Muning III

  • Yang Dipertuan Sultan Sembahwang

  • Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah

  • Yang Dipertuan GadihReni Sumpur 1912

  • Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)

  • Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek

         **Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)


Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).

Bila Sultan  Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi  dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan  Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan  Adityawarman. Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai  otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.

Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua  tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo  Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di  bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas  kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan  melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga  pemerintahan di tingkat raja.

Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan  Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:

1. Bandaro  (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri

2. Tuan Kadi di Padang  Ganting yang mengurus masalah Agama

3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan

4.Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan  rantau

Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik  sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro  dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau  tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya  sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman "Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu  daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.


Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan "Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah Penghulu.

Dari keterangan itu yang dapat diambil  kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.

Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih  belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.

Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.

Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.

Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakuka hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yangdilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir Selatan.

Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.

Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belandamelakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.

Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai Belanda.

Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.

Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di hancurkan.

Dengan demikian pusat perdagangan berpindah keBengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yangsudah direbutnya.Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.

Bersambung ----->>>
Ke Epesode  6



Category: Minangkabau | Views: 1544 | Added by: dash | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: