Selasa, 19 Mar 2024, 3:38:13

3:01:02
WILAYAH MINANGKABAU
Wilayah Minangkabau dilukiskan dalam Tambo secara semu, tidak mudah ditafsirkan begitu saja. Penggambaran wilayah atau tempat-tempatnya seperti ada dengan nyata, sehingga menimbulkan tafsiran yang berbeda di antara penulis, di mana sebenarnya letak perbatasan wilayah tersebut.
            Mirip dengan asal-usul nenek moyang Minangkabau penggambarannya, maka wilayah negeri ini pun disampaikan dengan kalimat-kalimat semu tapi bermakna. Seperti kita ketahui bahwa kedatangan atau tempat Maharaja Diraja berlabuh dan pertama kali menjejakkan kakinya, dikisahkan sebagai berikut: Di lagundi nan baselo, dakek bukik Siguntang-guntang, di sinan lurah satungkal benang, lurah  nan indak baraia, di situ bukik nan indak barangin-barangin-angin, di situlah banto nan barayun, di bawah batu hamparan putiah, di situlah sirangkak nan badangkuang, di situlah buayo putiah daguak, di mano aia basimpang tigo (Di pohon lagundi yang bersila, dekat bukit Siguntang-guntang, di sana lurah setungkal benang, lurah yang tidak berair, di situlah bukit yang tidak berangin, di situlah rumput yang tidak berayun, di bawah batu hamparan putih, di situlah sirangkak yang berbunyi, di situlah buaya berdagu putih, di sana air bersimpang tiga).
            Pun dengan cara demikian batas wilayah Minangkabau dikisahkan: Dari sikilang aia bangih sampai ka taratak aia itam, dari sipisok-pisok  pisau hanyuk sampai ka sialang balantak basi, dari riak nan badabua sampai ka durian ditakuak rajo (Dari sikilang air bangis sampai ke taratak air hitam, dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai ke sialang balantak basi, dari riak air yang berdebur sampai ke durian ditetak raja).
            Kemungkinan kalimat-kalimat yang disampaikan tersebut, ditafsirkan oleh para penulis secara hitam putih, sehingga Sikilang aia bangis, disimpulkan sebagai Air Bangis yang terletak di sebelah utara bagian barat. Sebelah tenggara, yaitu Taratak dekat Teluk Kuantan. Di sebelah utara dekat desa Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau. Berikutnya  di selatan, Pesisir sampai ke desa Durian dekat perbatasan Jambi sekarang. Wilayah inilah yang sekarang menjadi wilayah Sumatra Barat.
           
            Namun ada penulis yang menafsirkan bahwa batas Minangkabau sampai ke Malaysia, Negeri Sembilan. Akan tetapi kalau kita kaji menurut kesusteraan Minangkabau, daerah yang dilukis dalam Tambo itu adalah sebuah "Nagari Antah Berantah” Menurut AA.Navis dalam diktatnya "Adat dan Kebudayaan Minangkabau” (terbitan INS Kayu Tanam- 1982), kalimat Sikilang air bangis merupakan suatu pengertian yang tidak dapat dinyatakan secara konkrit. Karena kilang (kincir) takkan dapat diputar sebagaimana mestinya, sebab gelombangnya terlalu besar. Demikian pula dengan taratak aia itam (taratak air hitam), jelaslah tidak mungkin orang mendirikan permukiman kalau airnya tidak jernih. Demikian pula dengan kalimat Sialang balantak basi atau lebah bersengat besi. Seterusnya, disebutkan Riak nan berdebur, yang artinya riak memecah pantai. Padahal riak adalah alunan air yang ditiup angin semilir, tidak mungkin menimbulkan deburan seperti ombak yang menghempas ke pantai.

**
 LARAS NAN DUO

            Sistem pemerintahan Minangkabau, disebutkan dalam Tambo, menganut dua sistem. Yakni sistem Koto Piliang dan sistem Bodi Caniago. Sistem Koto Piliang digagas oleh Datuk Ketumanggungan, sedangkan sistem Bodi Caniago, dikemas oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Sejarah kedua sistem tersebut berlatar belakang perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang (Ibu mereka sama, yaitu Indah Juliah). Datuk Ketumanggungan, ayahnya seorang raja, yang bergelar Sri Maharaja Diraja. Dan Datuk Perpatih nan Sebatang, ayahnya seorang penasehat raja, yang menikahi Indah Juliah ketika sang raja itu meninggal.
            Memang kedua bersaudara tersebut sering berselisih paham, dan kadangkala berkelahi. Tapi akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang, yang masa kecil bernama Sutan Balun mengalah, ia pergi bertapa ke puncak gunung Merapi. Selesai bertapa, Sutan Balun mengembara ke berbagai negeri, bahkan sampai ke negeri Cina. Ketika merasa ilmu pengetahuannya telah banyak, ia kembali ke Minangkabau.
            Mendapatkan Datuk Ketumanggungan telah memerintah negeri dengan sistem yang disebut sistem Koto Piliang, maka Datuk Perpatih nan Sebatang lalu menggagas sistem Bodi Caniago.
            Dikisahkan kedua saudara seibu ini bersilang pendapat dalam penggunaan sistem tersebut. Gagasan Koto Piliang, Datuk Ketumanggungan dalam sebuah mamangan disebutkan, titik nan datang dari langik (sentaralisasi). Sedangkan gagasan Datuk Perpatih nan Sebatang, disebut, aia nan mambusek dari bumi.
            Mereka bertemu di suatu tempat untuk membicarakan kemandekan gagasan mereka masing-masing. Kedua saling mengeluarkan pendapat, memberi alasan untuk mendukung buah pikiran mereka. Datuk Ketumanggungan naik pitam melihat adiknya tidak mau mengikuti gagasannya, ia segera mencabut keris dan menikam sebuah batu di hadapannya. Batu itu berlobang.
            Melihat perbuatan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih nan Sebatang pun mencabut kerisnya, ia juga menikam batu tersebut. Lobang batu itu semakin dalam. Artinya, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang memutuskan bahwa masing-masingnya memakai sistem mereka, di wilayah masing-masing.
            Yang perbedaan prinsip kedua sistem itu, ialah berhubungan dengan kedudukan raja dalam pemerintahan, dan sistem pemerintahan itu sendiri. Menurut Koto Piliang, raja adalah kepala pemerintahan menurut sistem sentralistik, yang disebut juga dalam mamangan,”Bajanjang naik, batanggo turun”. Dan kedudukan penghulu pun bertingkat-tingkat. Sementara itu menurut sistem Bodi Caniago, raja adalah kepala pemerintahan menurut sistem desentralisasi, dalam mamangannya disebut.”duduak sahamparan, tagak sapamatang”. Kedudukan penghulu pun sama derajatnya.
            Pendapat saya sebagai penulis, bahwa pertentangan paham antara kedua tokoh ini yang digambarkan dalam Tambo, hanyalah sebuah tamsilan yang harus dipahami dengan renungan mendalam (secara tersurat, tersirat dan tersuruk). Batu yang ditikam oleh mereka hanyalah simbol bersepakat untuk tidak sepakat. Pada mamangannya disebutkan: Damalah pacah, nan bianglah tabuak Artinya, masing-masing pihak saling menghormati pendapat masing-masing. Itulah janin (embryo) dari demokrasi di Minangkabau, khususnya. Dan di Indonesia pada umumnya.
            Kesepakatan antara kedua sistem tersebut, berlangsung di Limo Kaum, yang di mana terjadi penikaman batu oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Pada pokoknya: pada Nagari yang didirikan kaum Koto Piliang maka berlaku hukum Koto Piliang. Demikian pula pada Nagari yang dibangun oleh kaum Bodi Caniago. Setiap Nagari berhak menentukan sistem pilihan mereka masing-masing. Pun dibolehkan pula satu Nagari memakai kedua sistem tersebut.
Penggambaran keberadaan (eksistensi) Lareh masing-masing dalam menyusun dan mengatur pemerintahan, bahkan dalam aristektur, keduanya memperlihatkan langgam masing-masing. Misalnya: Nagari yang menganut Lareh Koto Piliang, membagi wilayah Nagari dalam jumlah yang genap, yakni; IV Koto, VI Koto, atau Nan IV, Nan VI dan seterusnya. Arsitektur Rumah Gadang dan Balairungnya mempunyai lantai bertingkat-tingkat. Sementara itu Bodi Caniago membagi wilayahnya dengan bilangan ganjil, seperti: Tigo Koto, Tujuh Koto, Sabaleh Lingkung, Tigo Baleh Jorong, dan sebagainya. Aristektur Rumah Gadang dan Balairungnya mempunyai lantai datar.

DAERAH RANTAU
           
            Rantau secara etnografis, ialah wilayah Minangkabau, terletak di luar wilayah Luhak nan Tigo. Batas-batas wilayah Rantau tergantung pada pasang naik dan pasang surut kekuatan kerajaan di Pagaruyung. Pada mulanya wilayah Rantau merupakan wilayah mencari kekayaan secara individual oleh penduduk, baik dalam perdagangan, usaha dan jasa atau kegiatan lain yang sifatnya sementara. Dalam perjalanan sejarah, Rantau menjadi semacam koloni atau berbagai kekuasaan lain, sesuai dengan situasi politik yang berkembang pada zamannya.
            Sebagai koloni sebuah kerajaan, Nagari yang tumbuh di wilayah tersebut, dipimpin oleh seorang penguasa yang diangkat oleh raja. Penguasa itu dijabat turun-menurun menurut garis patrilinial dengan gelaran jabatan yang sesuai menurut langgam tradisional yang telah ada di tempat tersebut. Seperti gelar Rang Kayo, Tan Tuah di wilayah pantai bagian timur. Rang Gadang, Bagindo di wilayah pantai bagian barat. Di samping itu ada pula yang bergelar Rajo dengan sampiran lainnya, yaitu "Mudo” sehingga menjadi Rajo Mudo dan Rajo Kaciak (Rajo Kecil). Yang menyandang gelar tersebut adalah bangsawan-bangsawan keturunan Pagaruyung.
            Gelombang perpindahan penduduk ke rantau, yang demikian kian lama kian besar, baik secara individual maupun secara berkelompok kampung atau suku. Maka secara lambat laun Nagar-Nagari di wilayah itu tumbuh menjadi Nagari menurut sistem di wilayah Luhak asal mereka. Oleh karenanya, kehidupan di Nagari-Nagari di wilayah Rantau, merupakan wilayah secara etnis. Tapi secara kebudayaan telah terjadi perbauran dengan budaya warga setempat. Misalnya, kewajiban untuk membuat Rumah Gadang dan Balairung menurut arsitektur Minangkabau tidak begitu ketat. Lalu gelar asal-usul yang disandang oleh setiap lelaki yang telah menikah, yang lazim disebut; ketek banamo-gadang bagala (kecil bernama, dewasa bergelar) dipakai secara berdampingan- antara gelar garis ibu dan gelar garis ayah- Kadangkala ada yang tidak. Sehingga yang dipakai hanya gelar garis ayah.
            Di wilayah Pariaman –Tiku, lazim setiap lelaki yang beristri memakai gelar Bagindo, Sutan, dan Sidi, disamping nama kecilnya. Contoh, Bagindo Ali, Sutan Umar, Sidi Ali, dan seterusnya. Sedangkan di daerah Rantau Padang, hanya ada dua gelar, yaitu Sutan dan Marah.
            Merantau adalah produk kebudayaan Minangkabau. Setiap orang, terutama akan senantiasa didorong dan diajak agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara. Filsafat materialis Minangkabau mendorong agar anak muda kuat mencari harta guna meningkatkan martabat kaumnya. Sehingga setaraf dengan orang lain. Dan struktur sosial yang dialami kamu lelaki khususnya, ikut mendorong agar setiap orang untuk pergi merantau. Dalam pantunnya disebutkan:

Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Dirumah paguno balun

Apo gunonyo kabau batali
Usah dipauik di pamatang
 Pauikan sajo di tangah padang
Apo gunonyo badan mancari
Iyo pamagang sawah jo ladang
Nak mambela sanak kanduang

            Seorang lelaki muda dalam masyarakat Minangkabau, dipanggil bujang. Seorang bujang, status sosialnya dipandang rendah atau belum sempurna sebagai warga masyarakatnya. Dalam rapat-rapat keluarga ia belum diikut-sertakan. Dia tidak tinggal di rumahnya tapi di surau, yaitu suatu asrama bagi kamu lelaki. Anak muda yang disebut bujang ini, hanya disuruh-suruh oleh keluarga atau membantu pekerjaan kaum kerabatnya. Untuk membebaskan dirinya dari status seperti itu, jalannya adalah pergi merantau atau menikah. Akan tetapi untuk menikah pun tidak mudah. Keluarga dari si gadis tentu akan melihat tingkat kesejahteraan calon menantu mereka. Justru karena itu kaum lelaki harus berusaha keras untuk meraih kehidupan yang lebih layak, sehingga dia mampu "menghidupi” anak gadis orang (istrinya).

Rantau merupakan daerah otonom, memiliki kewenangan sendiri mengatur pemerintahan sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Luhak dan Rantau. Dalam mamangan disebut: Luhak ba-Pangulu, rantau ba-Rajo. Artinya, raja berkuasa di rantau, sedangkan penghulu memegang kekuasaan atas Luhak.
            Daerah rantau yang didatang mereka antara lain:
           
1. Rantau Kampar; Rantau Kampar meliputi daerah aliran Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Di daerah  itu terdapat nagari-nagari, seperti; Kuntu (dekat Bangkinang), Gunung Sahilan, Muara Lambu, Muaro Takuih (Muara Takus), dan lain-lain.

2. Rantau Kuantan; .Rantau Kuantan disebut juga Rantau nan Kurang Aso Duo Puluah, dua puluh dengan Muaro. Di rantau ini terdapat nagari antara laini: Taluak, Basrah, Lubuak Jambi, Lubuak Ramo, dan berikutnya.

3. Rantau XII Koto: Rantau XII Koto terletak di Batang Sangia, antara lain: Lubuak Gadang,  dengan Sungai Dareh. Di daerah rantau ini terdapat nagari-nagari; Siaua, Sungai Langsek, Muaro Takuang, dan berikutnya.

4. Rantau Cati Batigo:
Rantau Cati Batigo ini terdiri dari: Siguntua (Darmasraya), Situang, Koto Basa, arah ke Jambi. Rantau Cati Batigo terletak di Batang Hari, merupakan sambungan dari Rantau XII Koto, terletak dari Lubuk Ulang Aliang sampai ke Samalidu.

5. Tiku dan Pariman;
            Tiku dan Pariaman disebut dengan kalimat Riak nan badabua, masyarakatnya dikenal dengan Adat, "Harato pusako turun kamanakan, pusako gala kepada anak”. Selain daerah yang disebutkan itu, daerah yang disebut rantau Minangkabau adalah Air Bangis, Banda Sapuluah, Inderapuro, sampai ke perbatasan Bengkulu.

NEGERI SEMBILAN
            Suku bangsa Minangkabau memang suku yang suka merantau, merantau ke semenanjung Malaka, sekarang dikenal dengan Malaysia.  Di sana mereka membuka negeri baru, berkorong berkampung, bersawah berladang, bersemanda-menyemanda dengan penduduk asli yang mereka tepati.
            Sesuai dengan pepatah petitih dan filsafat Alam takambang jadi guru, mereka mampu menyesuaikan diri dengan penduduk asli yang mereka datangi. "Di mano bumi dipijak, di sinan langik dijujuang. Di mano aia disauak, di sinan ranting dipatah. Dunsanak ditinggakan di kampung halaman, dicari pulo dunsanak di rantau.” Dalam pengertiannya, mereka tidaklah mengusik adat kebiasaan penduduk yang mereka tepati. Tapi kalau ada yang kurang maka coba menawarkan apa pengetahuan yang mereka miliki.
            Justru karena itu masyarakat pribumi merasa nyaman bergaul dengan orang Minangkabau. Dan lambat laun makin tertanam empati pribumi kepada mereka, sehingga Adat suku bangsa Minangkabau pun dapat diterima masyarakat pribumi. Konon dalam perantau tersebut anak kemenakan Minangkabau ikut serta membangun sembilan nagari (Negeri Sembilan). Dan mereka yang berasal dari Minangkabau sampai sekarang masih memakai Adat yang diturunkan oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka tetap "basuku-bapusako, baniniak-bamamak, basawah-bapamatang, baladang-babintalak” Helat dan pernikahan kawin, bertegak rumah dan jelang-menjelang, tetap menurut Adat Minangkabau, yang lumrah mereka sebut Adat Perpateh. Negeri Sembilan pernah diperintah sampai tiga kali oleh raja yang berasal dari Pagaruyung (1773-1824), yaitu Raja Malewar, Yang Dipertuan Hitam, Yang Pertuan Lenggang.
           
            Konon suku bangsa Minangkabau datang ke Negeri Sembilan dalam empat gelombang atau rombongan. Gelombang pertama dipimpin oleh seorang datuk yang bergelar Datuk Rajo dengan istrinya Tok Seri. Mereka menuju Negeri Sembilan melewati Siak, menyeberangi selat Malaka. Lalu terus ke Johor, dari Johor bergerak ke Naning lalu ke Rambai. Terakhir menetap di sebuah tempat, yang disebut Londar Naga. Menurut cerita rakyat di sana, dulu di kampung ini dilewati oleh seekor naga, sehingga membentuk alur-alur. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.
            Rombongan kedua, kebetulan juga bergelar Datuk Rajo. Ia berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap di Kampung Layang. Berikutnya, rombongan ketiga dari Batusangkar, keluarga Datuk Mangkudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Di Negeri Sembilan, mereka membuat sebuah kampung, yang kemudian dikenal dengan nama Tanjung Alam. Lalu berganti pula jadi Gunung Pasir.
            Gelombang keempat, datang dari Sarilamak (Payakumbuh), yang dipimpin oleh Datuk Putih. Rombongan itu menepati Sutan Sumanik, yang telah dulu menetap di sana (Negeri Sembilan) Datuk Putih dikenal sebagai seorang pawang dan ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri menanti bagi tempat istana raja di negeri tersebut.
            Setelah empat gelombang orang Minangkabau itu, datang lagi rombongan berikutnya dalam catatan sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rambau adalah dari Batu Hampar, Payakumbuh, dengan pengikutnya dari Batu Hampar juga dan dari Mungka. Pemimpin rombongan itu adalah Datuk lelo Balang. Lalu ia disusul oleh adiknya, yang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Ninik.
Masyarakat Adat di Negeri Sembilan berdasarkan kerakyatan menurut paham atau ajaran yang mereka sebut Adat Perpateh tersebut. Sementara itu sistem pemerintahannya, :”bajanjang naik, batanggo turun”, menurut Adat Tumenggong (Ketumanggungan). Dalam pada itu Basa Ampek Balai yang pernah di Minangkabau dahulu, masih ada sekarang di sini, dengan nama "Undang Yang Empat”.
            Suku-suku dipimpin oleh Datok, kampong dan nagari terhimpun ke dalam Undang Yang Empat .Dan dalam acara menabalkan dan mengangkat pucuk bulat (pimpinan) Negeri Sembilan diadakan upacara Payung Panji Marawa Gadang. Kemudian diangkatlah Yang Dipertuan Sri Menanti
sumber:tambodunia.blogspot.com
Category: Minangkabau | Views: 2703 | Added by: dash | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: