Senen, 18 Nov 2024, 12:42:14

3:19:26
Datuk Perpatih nan Sebatang (2)
MENGEMBARA SAMPAI KE MANCANEGARA
            Segeralah Sutan Balun turun gunung. Semula ia hendak pulang menjenguk ibu dan adiknya, Puti Juliah tapi di tengah perjalan Sutan Balun membatalkan niatnya. Sutan Balun menyusuri sungai. Kemudian sampai pada sebuah padang luas, tidak ada pohon kayu di sana. Sepanjang jauh mata memandang ia hanya melihat padang ilalang dan semak belukar.
            Penat berjalan, Sutan Balun singgah pada sebuah pondok. Tampaknya pondok itu sudah lama tidak dihuni. Ia meletakkan buntalannya, dan menyandarkan tongkatnya di tonggak pondok. Lalu merebahkan badannya. Tiba-tiba ia bangkit, ia memandang sekeliling padang ilalang. Tergerak hatinya untuk berbuat sesuatu. "Saya rasa di tengah padang ini lebih baik ditanam pohon. Tapi dari mana saya mendapatkan bibit tanaman itu,”gumamnya.
            Setelah berpikir beberapa jenak, ia ingat akan tongkatnya yang tersandar di tonggak pondok. "Saya kira tongkat ini bisa dijadikan bibit tanaman.” Berkata demikian, Sutan Balun segera saja memotong tongkatnya. Kemudian ia tanamkan di halaman pondok.
            Ketika potongan tongkat itu tertanam di tanah, sekonyong-konyong turun hujan lebat. Sutan Balun terperanjat, tongkat yang ditanamnya di halaman itu, segera tumbuh pucuk. Cepat dan cepat sekali. Kurang sepanakan nasi, tongkat itu menjulang tinggi dan menjadi pohon rindang. (sekarang kalau anda berjalan ke kabupaten Solok, anda melihat pohon rindang, masyarakat di sana meyakini pohon tersebut adalah potongan tongkat Sutan Balun atau Datuk Perpatih nan Sebatang.
Saat hujan reda, Sutan Balun segera melanjutkan perjalannya. Lama berjalan, masuk hutan keluar hutan, naik bukit menuruni lurah, akhirnya ia sampai ke sebuah kampung, dan menetap di sana, beberapa lama. Namanya masih belum berubah, yaitu tetap memakai nama Sutan Balun. Tapi orang kampung tersebut tidak mengetahui bahwa ia bangsawan atau keluarga raja. Di kampung itu bertemu dengan Magek, tuo kampung, seorang yang disegani oleh masyarakat itu. Katanya didengar, perintahnya diturut masyarakat kampung itu.
            Suatu hari Sutan Balun menyampaikan niatnya hendak pergi mengembara kepada Magek. "Kamu hendak mengembara kemana Sutan. Apakah Sutan tidak betah tinggal di sini?” Magek bertanya heran. Orang tua itu tahu bahwa selama di kampung tersebut, Sutan Balun mempunyai hubungan baik dengan masyarakat kampung itu. Lagi pula Sutan Balun dikenal sebagai anak muda yang memiliki pengetahuan luas, dan budinya sangat terpuji. Bahkan bersama penduduk kampung telah mendirikan sebuah tempat belajar anak-anak kampung. Tempat belajar itu mereka namakan surau. Surau itu disamping digunakan untuk belajar, juga digunakan untuk menginap anak-anak dan pendatang yang terpasah ke kampung itu.
            "Bukan begitu. Saya merasa senang tinggal di sini. Tapi sebagai orang muda, di mana darah belum setampuk pinang, umur belum setahun. Pengetahuan belumlah banyak, Saya kira lebih baik merantau sambil membuka ke negeri orang.”
            Magek manggut-manggut mendengar alasan Sutan Balun. "Oya, di pinggir pantai itu saya melihat orang sedang membangun sebuah kapal. Sudah lebih tiga bulan mereka bekerja. Barangkali jika kapal itu sudah siap, Sutan bisa ikut berlayar,” tutur orang tua itu.
            Singkat cerita, Magek membawa Sutan Balun ke pantai. Di sana banyak orang berkumpul. Mereka sedang berusaha mendorong kapal tersebut ke laut lepas. Tapi usaha mereka gagal. Walaupun telah dikerahkan orang sekampung mendorong kapal tersebut, tetap saja kapal itu tidak bergeming.
            "Heran juga saya. Kenapa kapal itu tidak bergerak,” ujar Magek seraya menoleh pada Sutan Balun. Sepertinya ia minta saran pada Sutan Balun. Dan ia memanggil salah pembuat kapal, yang sekaligus akan menjadi nakhoda. "Apakah kamu sudah mempersiapkan persembahan pada dewa laut. Jangan-jangan dewa laut, tidak mau menerima kapal ini.”
            "Sudah Tuo Magek.Nasi kunyit, singgang ayam. Paureh dan sebagainya sudah diantaukan (dipersembahkankan) ke tengah laut,” Nangkodo menjelaskan.
            "Kalau begitu, datangi Angku Datu. Minta pendapat padanya,” nasehat Magek.
           
            Malam hari Nangkodo dan Magek mendatang pondok Angku Datu. Setelah membaca mantera, Angku Datu melihat air yang tersedia dalam tempayan. Orang tua itu menggeleng-geleng. "Tidak mungkin. Kapal ini tidak diterima dewa laut. Kecuali…”
            "Kecuali apa Angku,” segera Magek menimpali.
            "Temui seseorang yang bernama Sutan Balun.”
            "Sutan Balun?”
            "Ya, ia mungkin bisa mencari jalan keluar agar kapal ini diluncurkan ke laut.”

            Atas anjuran Angku Datu, Magek dan Nangkodo menemui Sutan Balun. Mereka menyampaikan pesan Angku Datuk kepada Sutan Balun. "Ya, waktu di pantai, saya maklum bahwa kapal tersebut tak mungkin meluncur. Landasannya harus ditukar,” kata Sutan Balun.
            "Jadi landasan luncuran harus diganti. Oh, kalau begitu tidak sulit,” sahut Nangkodo.
            "Tapi landasan luncur itu, bukan landasan sembarangan.”
            "Maksudnya?”
            Sutan Balun memandang wajah kedua orang tersebut, berganti-ganti. "Sungguh berat saya mengatakan kepada tuan Magek dan Nangkodo. Tuan berdua mungkin akan kaget.”
            Nangkodo mengerling pada Magek. Ia kemudian berbisik pada tuo kampung itu. "Katakan pada Sutan agar ia menjelaskan maksudnya.” Magek lalu mengangguk. "Begini Sutan. Kapal itu harus meluncur ke laut. Tidak ada jalan lain, apapun syaratnya harus kita penuhi.”
            Sejenak Sutan Balun menarik nafas. "Ya. Saya harus mengatakan pada tuan berdua. Lagi pula saya pun ingin menompang dengan kapal tersebut.”
"Oh, soal itu kaji menurun. Yang penting kapal itu harus meluncur ke laut. Jadi katakanlah jalan keluarnya,” ujar Nangkodo tak sabar lagi.
Diam sejenak Sutan Balun. Kemudian ia berkata perlahan,” Landasan itu adalah seorang manusia. Itulah yang diminta oleh dewa laut.”
Sunyi seketika.
Magek diam.
Nangkodo termanggu.
"Itulah beratnya. Oleh karena itu saya bimbang mengatakannya,” kata Sutan Balun memecahkan kesunyian.
Magek dan Nangkodo berbisik-bisik sejenak. Lalu Magek berbicara,”Baiklah kalau begitu. Besok pagi akan saya umumkan kepada masyarakat. Siapa yang mau berkorban untuk menjadi landasan luncur kapal itu.”
Esok pagi, semua orang ramai berkumpul di pantai hendak menyaksikan peluncuran kapal tersebut ke laut lepas. Magek maju ke depan di antara orang ramai. Ia berkata lantang,”Wahai penduduk kampung, anak kemenakan, ipar besan, urang semando, kaum kerabat dalam kampung ini. Kapal ini akan segera kita luncurkan.”
"Ya, luncurkanlah!’ Serentak mereka bersorak.
"Tapi ada syaratnya. Kalian harus berkorban. Salah seorang dari kalian secara sukarela menjadi landasan luncuran kapal ini.”
Semuanya terdiam. Lalu berbisik-bisik. Ada diantaranya yang menghindar, menjauh dari kapal.
Melihat keadaan seperti itu Sutan Balun maju mendampingi Magek. "Jika sanak saudara enggan berkorban. Niscaya kapal ini batal meluncur. Lalu kapal ini akan lapuk. Apakah sanak saudara tidak malu. Lagi pula kita akan dikutuk selamanya oleh dewa laut.”
Hening lagi. Kemudian bisik-bisik, desas-desas. Lalu suara bergalau bagai lalat beterbangan.
Tiba-tiba menyeruak seorang perempuan ke tengah-tengah orang ramai. "Biarlah saya yang jadi lancaran kapal itu. Semua orang menoleh pada perempuan itu. Perempuan itu, putri tuo Magek. Dia, Bungo. Putri tuo Magek itu tampak sedang hamil berat. Mungkin seminggu lagi melahirkan. Semua orang terpana akan kenekadan Bungo.
Magek mendekati putrinya. "Bungo, mengapa kamu berbuat senekad ini. Bukankah kamu sedang hamil. Menjadi landasan kapal sebesar ini, nyawa tantangannya,” orang tua itu memberikan pengertian.
Bungo meggeleng. "Ayah, sejak kapal ini mulai dibangun, saya memang sudah berniat berkorban untuk kapal ini. Lagi pula semua ini untuk ayah juga. Demi harga diri ayah. Lihatlah siapa yang mau mendengar ucapan ayah. Ucapan ayah hanya mereka anggap angin lewat belaka.”
Magek memicingkan mata ketika kapal itu melindas tubuh Bungo. Semula ia mengira Bungo akan hancur dilindas kapal. Ternyata perempuan itu selamat, tidak kurang suatu apapun. Pun anaknya lahir dengan selamat. Anak Bungo, kebetulan seorang perempuan. Sejak itulah, garis keturunan orang Minangkabau berdasarkan garis ibu

Berlayarlah kapal tersebut hari itu juga. Kebetulan cuaca sedang cerah. Sutan Balun walaupun diberi kamar dan perhatian istimewa oleh Nangkodo, tapi ia tetap saja rendah hati. Ia kadang berjalan ke haluan, di sana berkumpul penumpang lain, dan awak kapal yang memandang keindahan alam dari atas kapal tersebut.
Kesempatan bergaul dengan penumpang dan awak kapal, dimanfaatkan oleh Sutan Balum berbincang-bincang dengan mereka. Mereka menyadari bahwa Sutan Balun bukanlah orang sembarangan. Lalu mereka bertanya tentang ini dan itu. Sutan Balun menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan.
Ketika istana, ia pernah belajar ilmu pertukangan dan seni ukir. Maka dalam pelayaran yang cukup lama ini, Sutan Balun mengajarkan kepada penumpang dan awak kapal, ilmu pertukangan dan seni ukir.
            Suatu waktu kapal tersebut berlabuh di Malaka. Nangkodo mengajak Sutan Balun turun ke darat beserta beberapa orang awak kapal. "Nanti Sutan akan saya perkenalkan pada sultan Malaka. Tapi sebelum itu, nama Sutan harus diganti, agar lebih mentereng di hadapan sultan dan para menterinya,” kata Nangkodo. "Perpatih nan Sebatang, begitu kami memanggil Sutan nanti, di hadapan raja,” sambungnya.
            "Apa arti nama itu. Jangan-jangan kita mengambil nama orang lain,” tukas Sutan Balun.
            "Sutan saya lihat mengajarkan ilmu pertukangan dan ukiran. Alat yang sering Sutan pakai itu, namanya parapatik (pahat pengukir). Sedangkan tongkat yang Sutan bawa itu mirip kayu sebatang. Oleh karena itu, nama Sutan sekarang adalah Datuk Perpatih nan Sebatang,” kata Nangkodo. Tampaknya usulan nama tersebut, disetujui oleh mereka yang ikut bersama ke darat.
            Singkat cerita, Nangkodo dan Sutan Balun serta lima orang lainnya diterima oleh Sultan Malaka. Agaknya sebelum itu telah terjalin persahabatan antara Sultan dan Nangkodo. Dan Nangkodo memperkenalkan Sutan Balun kepada Sultan dengan nama Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Sultan menyapu sekujur tubuh Datuk Perpatih nan Sebatang dengan tatapan yang penuh selidik. Menurut raja tersebut, nama yang didengarnya itu cukup unik. Dan baru sekali ini ia mendengar. Dari pakaian yang dipakai oleh Datuk Perpatih nan Sebatang, tampak tamunya itu bukanlah orang biasa, gumam Sultan.
            "Saya ingin tahu, tuan bangsawan dari mana?” Sultan bertanya.
            "Saya datang dari pulau Perca. Seorang bangsawan keturunan Maharaja Diraja,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Manggut-manggut Sultan. "Menurut kebiasaan, setiap tamu yang datang ke sini harus membawa cindera mata. Dan apa cendera mata dari negeri tuan.”
            Nangkodo beringsut ke depan. "Duli hamba, tuanku raja. Kami telah menyiapkan bingkisan untuk Sultan. Kami membawa sekarung bubuk kopi. Satu peti kapur barus. Sepundi emas dan perak,” sembah Nangkodo.
            "Begitukah?”
            "Duli tuanku.”
            "Terima kasih atas barang bawaan kalian tersebut. Tapi karena tuan Datuk Perpatih nan Sebatang ikut bersama kalian. Agaknya barang bawaan kalian itu tampak kurang berharga.”
            Kering kerongkongan Nangkodo mendengar ucapan Sultan, ia segera menyembah dan berkata,”Ampun hamba, tuanku. Kalau barang bawaan itu masih kurang, biarlah kami jemput ke kapal. Jika hamba boleh bertanya, cendera mata apa yang tuanku minta dari kami?”
            Sultan tersenyum. Ia berbisik pada Tun Razak, penasehat yang duduk di samping kanannya. Tun Razak mengangguk. Ia menoleh pada Datuk Perpatih nan Sebatang. "Tuan Datuk. Sultan ingin tiga cendera mata dari tuan.”
            "Boleh…boleh. Lima atau sepuluh cendera mata lagi akan kami ambilkan,” tukas Nangkodo.
            "Bukan engkau yang kusuruh bicara. Tapi tuan Datuk Perpatih,” ujar Tun Razak bernada keras.
            "Baiklah. Jika Sultan ingin tiga cendera mata, hamba akan penuhi. Titahkanlah, hamba akan mendengar,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Yang diminta oleh Sultan, pertama angin. Kedua, barang yang memenuhi ruangan. Ketiga, harta yang tidak pernah habis. Bila ketiga permintaan itu tidak bisa dipenuhi Datuk Perpatih nan Sebatang, maka ia akan dihukum pancung. "Besok malam akan kami terima di istana ini,” titah Sultan.
            Sepanjang jalan menuju kapal, Namgkodo tampak gelisah. Ia merasa bersalah kepada Datuk Perpatih nan Sebatang, mengapa ia lancang memperkenalkannya dengan Sultan. Akibatnya, Datuk Perpatih nan Sebatang dalam bahaya.
            Tetapi Datuk Perpatih nan Sebatang tampaknya tenang-tenang saja. Keesokan malamnya, mereka kembali menghadap Sultan. Semua pejabat istana, dan permaisuri serta putri raja hadir.
            "Tuan Perpatih nan Sebatang, sesuai dengan janji kita. Kalian harus membawa tiga permintaanku,” kata Sultan.
            "Ya,tuanku. Saya tidak pernah mungkir janji.”
            "Ya, mana tiga permintaanku itu.”
            Nangkodo tampak gelisah. Keringat dingin menetes sekujur tubuh. Ia menoleh pada Datuk Perpatih nan Sebatang. Wajah Datuk Perpatih nan Sebatang tenang, sedikit pun tak tampak cemas. Ia mengeluarkan kipas dari balik bajunya. "Pertama, akan saya persembahkan angin yang saya bawa,” ujar Datuk Perpatih nan Sebatang.
            "Mana angin itu?”
            Semua mata yang hadir di sana menatap ke arah Datuk Perpatih nan Sebatang. Lelaki itu mendekat pada Sultan. Ia membuka kipas di tangannya, lalu mengipaskan pada Sultan.Seberkas angin sejuk meniup wajah Sultan "Inilah kipas, sebuah alat yang saya bawa untuk menyimpan dan membawa angin.”
            Semua orang terpana.
            Sultan mengangguk. "Dan mana barang yang kedua, yaitu yang memenuhi seluruh ruangan.”
            "Baik. Tapi saya minta tuanku memadamkan lampu yang ada dalam ruangan ini.”
            Sultan pun memerintahkan memadam lampu di ruangan itu. Dan ruangan itu pun gelap gulita. Setelah suasana tenang. Maka Datuk Perpatih nan Sebatang menghidupkan lentera yang telah dipersiapkannya. Seketika ruangan jadi terang benderang kembali. "Inilah barang yang memenuhi segala ruangan,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang. "Cahaya dari lentera akan memenuhi segala ruangan. Tidak ada celah yang luput dari siraman cahaya,” sambung lelaki itu.
            "Lalu apa barang yang tidak pernah habis?”
            Semua yang hadir menunggu jawaban Datuk Perpatih nan Sebatang.
            "Barang yang tidak pernah habis adalah ilmu pengetahuan. Dia akan terus melekat pada pemilik selama hayat dikandung badan. Ilmu pengetahuan kian bertambah jika tuan mau memberikan atau mengajarkannya kepada orang lain.”
            Semua yang hadir di istana berbisik-bisik. Mereka kagum kecerdikan Datuk Perpatih nan Sebatang. Sultan berbisik pada permaisuri. Lalu berkata,” Tuan Datuk Perpatih nan Sebatang, kami semua kagum pada kecerdasan tuan. Oleh karena itu, saya dan permaisuri ingin menjodohkan tuan dengan putri kami, Tun Sri Kemala. Dan tuan, kami angkat jadi menteri kebudayaan.”
            Nangkodo menyikut halus Datuk Perpatih nan Sebatang.”Sungguh beruntung tuan. Jawablah cepat,” lelaki itu mendesak Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Datuk Perpatih nan Sebatang menegakkan kepala, memandang lurus ke depan. "Tuanku, betapa tersanjungnya hamba mendengar tawaran tuanku. Tapi maaf beribu maaf, saya hanyalah seorang pengembara, berkelana ke berbagai negeri. Belum saatnya saya menetap di suatu negeri. Karena besok pagi mungkin kami akan melanjutkan perjalanan.”
            "Tuan Datuk Perpatih, apakah putri kami, Tun Sri Kemala kurang cantik?”
            "Tun Sri Kemala seorang putri yang sangat cantik. Seumur hidup hamba barulah kali ini, hamba melihat gadis secantik putri tuanku. Kalau ada sumur diladang, boleh hamba menompang mandi. Kalau umur sama panjang, pasti kita akan bertemu lagi,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Akhirnya Sultan Malaka melepas Datuk Perpatih nan Sebatang dengan berat hati. Sultan dan para pengawalnya mengantar Datuk Perpatih nan Sebatang dan rombongan sampai ke kapal. "Kalau tuan Perpatih kembali dari pengembaraan, akan menerima tuan dengan tangan terbuka,” kata Sultan.
            Datuk Perpatih nan Sebatang kembali melanjutkan pelayaran. Akan tetapi cuaca malam itu kurang baik. Lagi pula persedian air minum di kapal habis. Terpaksalah kapal tersebut singgah di suatu nagari. Di sana ia pun disambut dengan baik. Bahkan ia sempat mengajar tentang adat-istiadat dan filsafat Alam. Pun ikut membangun sembilan nagari bersama masyarakat di sana. Konon negeri itu sampai sekarang masih memakai nama Negeri Sembilan. Dan memakai adat yang diajarkan oleh Datuk Perpatih nan Sebatang, yang mereka sebut: Adat Perpateh. Kemudian mereka berangkat lagi, singgah di Kamboja, negeri Thai, dan akhirnya ke negeri Cina.

BERTEMU DENGAN MAHARAJA CINA.

            Datuk Perpatih nan Sebatang menghadap Maharaja Cina, ia diterima di istana yang megah. Seluruh lantai istana beralaskan permadani merah. Maharaja Diraja duduk di singgasana yang berukirkan "naga berebut mustika”. Di kiri kanan, pada tingkat yang lebih rendah berjejer para menteri, dan beberapa orang Kasim (orang kepercayaan raja). Sementara itu Datuk Perpatih nan Sebatang duduk bersimpuh. Menurut peraturan istana, tidak seorang pun dibenarkan memandang wajah Maharaja Cina. Tapi sekilas pakaian Maharaja Cina itu bewarna kuning dengan bahan sutra asli. Sedangkan yang lainnya, memakai pakaian, merah, ungu, dan berkembang-kembang
            "Saya sudah mendengar kecerdasanmu dari kurir kami yang berada di negeri-negeri yang engkau kunjungi. Selentingan berita yang saya terima, engkau adalah keturunan Maharaja Diraja dari Minangkabau.Benarkah?”
            "Benar, Maharaja,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang tanpa mengangkat kepala.
            "Di negerimu, garis keturunan menurut ibu. Suatu hal yang jarang ada di dunia ini. Bisakah kamu menjelaskan. Kenapa harus menurut garis ibu. Padahal rata-rata suku bangsa memilih garis keturunan dari ayah,” kata Maharaja Cina.
            Merenung sesaat Datuk Perpatih nan Sebatang. Ia ingin menggeser tempat duduknya agar lebih dekat pada Maharaja Cina. Tiba-tiba kedengaran bunyi gemerincing pedang dihunus.
            "Biarkan dia lebih mendekat,” kedengaran Maharaja Cina memberi titah.
            Datuk Perpatih nan Sebatang mendengar suara halus, suara pedang kembali disarungkan. Lelaki itu kemudian berkata,”Di negeri kami, kaum lelaki sering meninggalkan rumah. Mereka pergi berburu. Kadangkala sampai berbulan-bulan, bahkan sampai berbilang tahun. Mereka kembali membawa hasil buruannya, dan memberikan pada istrinya. Di rumah mereka tidak lama, paling lama sepekan, kemudian berangkat lagi.”
            "Jadi itukah yang membuat suku bangsa Minangkabau menetapkan garis keturanan menurut garis ibu?” Maharaja Cina memotong tuturan Datuk Perpatih nan Sebatang.
            "Hamba belum selesai, Maharaja.”
            "Teruskan ceritamu.”
            "Kaum lelaki bukan saja membawa hasil buruannya, berupa daging tapi juga binatang yang mereka tangkap dalam keadaan hidup, serta bibit tanaman. Daging buruan tentu akan dihidangkan oleh kaum ibu setelah dipanggang atau dimasak agar rasanya lebih gurih. Begitu pula sayuran, pun mereka hidangkan pada suami dan anak-anak mereka. Tetapi bibit tanaman mereka tanam di halaman rumah, atau di sawah dan ladang. Demikian pula dengan binatang buruan yang masih hidup, kaum ibu memelihara binatang tersebut sehingga jinak. Ayam, sapi, kerbau, kambing, domba jadi binatang piaraan kita. Yang menjinakan adalah kaum perempuan.”
            Maharaja Cina terkesima dengan keterangan Datuk Perpatih. Ia manggut-manggut, tanda tertarik oleh penuturan lelaki dari Minangkabau ini. Kadangkala ia berbisik-bisik dengan permaisurinya yang duduk di samping. Kadang menggamit salah seorang menterinya, berbicara pelan. Kelihatan menteri itu pun manggut-manggut.
            "Lalu, karena lebih banyak di rumah, kaum perempuan mengasuh anak-anak sampai remaja. Bukankah perempuan itu mahkluk yang luar biasa. Mereka mampu menjinakan binatang sehingga jadi binatang piaraan. Melahirkan dan mengasuh anak, di samping melayani suami. Suami itu adalah kita, kaum lelaki. Kalau kita mau jujur, perempuan adalah kehidupan itu sendiri. Apakah garis keturunan menurut ibu itu suatu hal yang muskil?”
            Maharaja Cina menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang istana, menukikan pandangannya satu-persatu pada para pembantunya. Semuanya diam, tidak seorangpun yang menjawab pertanyaan bersayap Datuk Perpatih nan Sebatang. "Oya, menurut saya kaum perempuan itu, kaum lemah dan manja. Bila lelaki berperang, mereka lebih dulu mengungsi. Di bumi ini, siapa yang kuat, dialah yang jadi pemimpin. Oleh karena itu di belahan manapun di dunia ini, garis keturunan itu menurut garis ayah atau lelaki.” Maharaja Cina mengeluarkan pendapatnya.
            "Duli hamba Maharaja, bolehkah hamba lanjutkan penuturan hamba?”
            "Silahkan.”
            "Tidak seluruhnya perempuan itu manja. Bila perang tiba, mereka pun bisa kita ikut sertakan. Saya dengar di negeri Maharaja yang maha luas ini, bertebaran pendekar perempuan. Bukankah mereka pendekar yang gagah berani dan mampu berperang? Dan dampak dari sebuah peperangan adalah kehilangan harta, kaum kerabat, suami, ayah, kakek dan sebagainya.”
            Maharaja menatap Datuk Perpatih nan Sebatang penuh perhatian.
            "Banyak istri yang kehilangan suami karena perang. Dan istri yang sedang hamil tua tetap setia menunggu suaminya dari medan perang. Ternyata sang suami telah tewas di medan perang. Anak yang dikandung perempuan itu pun lahir tanpa ayah. Maka ibu adalah bukti yang sah bagi seorang anak, bahwa ia anak perempuan itu. Sedangkan anak tersebut mengetahui ayahnya yang tewas di medan perang, hanyalah dari cerita ibu atau cerita orang lain. Di negeri kami ada mamangan yang berbunyi,”Sayang ayah sepanjang penggalan, sayang ibu sepanjang jalan”. Artinya, sayang seorang ibu tak pernah habis-habisnya. Itulah salah satu bagian yang membuat suku bangsa Minangkabau, menetapkan garis keturunan menurut garis ibu.”
            Tiba-tiba Maharaja Cina bertepuk. Dua orang dayang datang menghadap. "Saya terkesan akan penjelasan tamu kita dari Minangkabau ini. Wawasan saya bertambah. Oleh karena itu kamu siapkan santapan di ruang makan istana.” Ia memberi perintah. Kemudian mengajak Datuk Perpatih nan Sebatang ke ruang santap.
            Berbagai hidangan tersaji di meja. Meja Datuk Perpatih nan Sebatang berhadapan dengan Maharaja Cina. Sebagai orang Minangkabau yang dikenal memiliki "akal panjang”, Datuk Perpatih nan Sebatang berniat melihat wajah Maharaja Cina. Semula ia memintal-mintal mi rebus dalam mangkok, kemudian ia angkat tinggi setinggi wajahnya. Saat itulah ia melahat wajah Maharaja. Kebetulan Maharaja Cina pun memandang ke arah Datuk Perpatih nan Sebatang, tampak Maharaja tersenyum ramah.
            Sayang perbuatan itu diketahui pengawal raja. Dua orang pengawal maju menyeret Datuk Perpatih nan Sebatang ke depan Maharaja. "Baginda, kami siap menerima perintah,” ujar kedua pengawal itu serentak seraya memalangkan pedang ke leher Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Maharaja Cina diam sejenak. Ia mengibaskan tangan, tanda agar kedua pengawal itu beranjak meninggalkan tawanannya, Datuk Perpatih nan Sebatang itu. Bangkit Maharaja Cina, ia merangkul Datuk Perpatih nan Sebatang bagai  sahabat lama layaknya. "Lelaki dari Minangkabau ini memang cerdik. Dialah tamu asing yang bisa mencuri melihat wajah saya, seorang Maharaja Cina.”
            Sebelum berangkat, Datuk Perpatih nan Sebatang dipersilahkan Maharaja Cina untuk berkeliling ibu kota. Ia bertemu dengan para biksu di kuil Shaolin, mereka berbincang beberapa saat. Dan bertemu pula dengan pendeta Tao, di sana Datuk Perpatih nan Sebatang pun bertukar pikiran tentang filsafat Alam. Lalu ia pergi ke sentra-sentra kerajinan rakyat, melihat orang membuat barang kerajinan emas dan perak, ukiran kayu, menenun kain. Datuk Perpatih nan Sebatang banyak menimba ilmu pengeahuan di negeri Cina ini. Akhirnya ia mohon diri kepada Maharaja Cina untuk kembali melanjutkan perjalanan. Maharaja Cina memberi beberapa potong kain tenunan, kain bersulam dan lain-lainnya, sebagai cendera mata.


KEMBALI KE MINANGKABAU
             
            Kapal Datuk Perpatih nan Sebatang berlabuh di Tiku bersamaan dengan menyingsingnya fajar. Setelah mohon diri dengan Nangkodo dan anak buah kapal lainnya, ia segera melanjutkan perjalanan. Dari sana ia terus menuju istana, menemui ibu dan adiknya, Puti Jamilan. Datuk Perpatih nan Sebatang memberikan oleh-oleh pada Puti Jamilan yang dibawanya dari negeri Cina. Barang cenderamata yang oleh Datuk Perpatih nan Sebatang, dibuka Puti Jamilan. Riang tak terperikan Puti Jamilan, betapa barang cenderamata yang dibawa kakaknya itu beberapa perangkat pakaian perempuan. Pakaian perempuan itu terbuat dari sutra halus dengan sulaman indah. Kemudian terdapat pula sunting dari emas dan perak.
            "Alangkah baiknya kalau saya bisa membuat pakaian seperti ini,” ujar Puti Jamilan.
            "Kenapa tidak, bukankah kita punya penenun,” tukas Puti Juliah.
            Menurut hikayat, Puti Jamilan memanggil Dayang Pandai Sikek. Puti Jamilan menyuruh Dayang Pandai Sikek membuat tenunan sulam, seperti pakaian-pakaian yang dibawa oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Dan hasil karya Dayang Pandai Sikek itulah dikenal dengan kerajinan Pandai Sikek.
            Keesokan hari, Datuk Perpatih nan Sebatang berjalan-jalan masuk kampung keluar kampung. Masyarakat ramai menyambut lelaki tersebut. Pada kesempatan itu, ia memperkenalkan gelar yang dipakainya sekarang, yaitu Datuk Perpatih nan Sebatang. Dalam pertemuan itu, mereka menceritakan kelakuan Datuk Ketumanggungan. "Ia bukan pemimpin yang baik. Kacak langan bak langan, kacak batieh bak batih. Beraja di hati, bersutan di mata (Kacak lengan bagai lengan, kecak betis bagai betis. Beraja di hati, bersutan di mata).”
            Sejak Datuk Ketumanggungan memegang tampuk pemerintahan, ia menerapkan hukum tarik balas. Yaitu hukum balas membalas, siapa yang membunuh maka ia pun akan dibunuh tanpa diadili. Dan kepada siapa yang membangkang terhadap perintahnya, ia akan dimasukan ke dalam penjara. Hal ini yang membuat rakyat gelisah.
            "Tuan Datuk Ketumanggungan, sebaiknya hukum tarik balas itu, tuan cabut. Ganti dengan yang lebih adil,” usul Datuk Perpatih nan Sebatang ketika bertemu dengan Datuk Ketumanggungan
            "Adil…Apakah hukum tarik balas itu, tidak adil menurutmu. Orang membunuh, apakah dibiarkan begitu saja. Orang mencuri, dibiarkan saja. Denai tidak mengerti jalan pikiranmu, ‘ ujar Datuk Ketumanggungan keras.
            "Maksud denai, mereka yang berbuat kejahatan itu harus diadili lebih dulu. Agar kita dapat mengetahui persoalan yang sebenarnya. Mungkin dia dihukum gantung, mungkin dia dipenjara seumur hidup. Bisa juga dibebaskan karena kejahatan yang dituduhkan kepadanya hanyalah fitnah belaka.”
            Berpikir sesaat Datuk Ketumanggungan. Kemudian berkata,”Ah, kamu mengada-ada. Orang membunuh harus dibunuh. Orang mencuri harus diambil hartanya.”
            "Bagaimana kalau tuan atau anak tuan digigit anjing. Apakah tuan akan membalas menggigit anjing itu pula?”
            Datuk Ketumanggungan diam. Ia lalu bangkit seraya bersungut-sungut meninggalkan Datuk Perpatih nan Sebatang.
            Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Musim pun berlalu dengan cepat. Suatu hari Datuk Ketumanggungan berjalan di depan rumah Mangkutak. Tiba-tiba muncul dari halaman Mangkutak, seekor anjing. Anjing itu tidak menggonggong, ia langsung menerkam betis Datuk Ketumanggungan. Lelaki itu terkejut, dan memukulkan tongkatnya dan tepat mengenai kepala anjing tersebut. Tersungkur anjing itu. Binatang itu mati seketika.
            "Tuan telah melanggar hukum tuan sendiri,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang.
            "Anjing itu sudah sepantasnya mati,”ujar Datuk Ketumanggungan.
            " Dia menggigit betis tuan. Mestinya tuan membalas dengan gigitan pula. Bukan membunuhnya.”
            Kian hari perselihan antara kedua bersaudara, kian meruncing. Masing mereka membuat sistem pemerintahan masing-masing. Sistem pemerintahan tersebut dikenalkan dengan sistem Koto Piliang, yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan. Dan Datuk Perpatih nan Sebatang membentuk sistem Bodi Caniago. Perdamaian antara kedua mereka ditandai dengan penikaman batu, di Limo Kaum.


Catatan tentang hikayat Datuk Perpatih nan Sebatang:

Hikayat Datuk Perpatih nan Sebatang, semula diceritakan secara lisan atau kaba. Kemudian karena perkembangan zaman, hikayat ini ditulis dengan bahasa Melayu (Minang) dan Indonesia  Seperti juga kaba, yang disampaikan oleh "pekaba” maka hikayat tertulis tentang Datuk Perpatih nan Sebatang pun berbeda-beda, menurut situasi yang sedang berlaku. Seperti yang dicatat pada catatan kaki terdahulu, Datuk Perpatih nan Sebatang bisa saja muncul pada ruang dan waktu yang berbeda. Dalam  adu kerbau, ia bersama Datuk Ketumnggungan, dan Cati Bilang Pandai, berperan besar menggagas kerbau kecil yang diberi tanduk besi runcing. Ia bisa muncul ketika Anggang dari Laut datang. Atau melakukan pengembaraan ke berbagai negeri, dengan waktu yang berbeda, ratusan tahun. Maka tak salah kiranya, kalau Rusli Amran dalam buku Sumatra hingga Plakat Panjang, berkomentar: "Seandainya Sejarah Perang Paderi belum ditulis, kemungkinan Imam Bonjol dapat dianggap Datuk Perpatih nan Sebatang”  (Penerbit Sinar Harapan- 1980)
sumber:tambodunia.blogspot.com
Category: Minangkabau | Views: 2868 | Added by: dash | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: