Selasa, 16 Apr 2024, 10:22:32

3:25:28
ASAL USUL MINANGKABAU
Menurut sejarah, rombongan pertama yang datang ke Minangkabau, ialah suku bangsa Austronesia, yang datang secara bertahap dari daratan Asia Tenggara. Mereka adalah pendukung kebudayaan neolithicum, yaitu manusia zaman batu baru. Bekas peninggalannya terdapat di beberapa gua di Jambi Hulu dan di sekitar danau Kerinci, berupa alat perkakas dari batu, seperti mata tombak, pisau dan lain-lainnya. Awal perpindahan tersebut diduga sekitar tahun 2000 SM.

Gelombang demi gelombang perpindahan suku-suku bangsa itu terus berlanjut dari daratan Asia Tenggara sambil membawa kebuadayaan asalnya, ditandai dengan penemuan benda perunggu dan besi, seperti kapak upacara dan mekara yang besar dengan lukisan yang ada hubungannya dengan kebudayaan Dong-son. Diperkirakan gelombang-gelombang perpindahan tersebut berlangsung sampai 900 SM. Bejana yang ditemukan di Kerinci berbentuk spiral. Sementara itu yang ditemukan di Bangkinang berupa arca-arca kecil dan benda lainnya, yang belum diketahui kegunaannya.
           
Nenek moyang suku bangsa Minangkabau, yang mempunyai sifat mengembara, maka dalam melakukan pelayaran, mereka menggunakan perahu bercadik dan berkemudi ganda di kedua sisi bagian belakang sebagai sebuah perahu khas dari suku-suku bangsa Asia Tenggara. Dengan berani mereka berlayar mengarungi lautan. Mereka berlayar ke timur hingga ke Oceania di Pasifik dan ke barat sampai ke Madagaskar. Konon gelombang perantauan perahu-perahu dari Sumatra itu telah banyak mempengaruhi kebudayaan dan bahasa Madagaskar. Tersebut berita bahwa telah terjadi pertemuan antara pelaut Sumatra dengan pelaut Finisia di masa Nabi Sulaiman (950 SM). Dari pertemuan tersebut maka gunung Ophir yang terletak di Minangkabau, terkenal sebagai tambang emas (seperti diceritakan dalam Injil)
           
Sampai abad ke 4 SM, tentang suku-suku bangsa yang mendiami pulau Sumatra masih kabur. Ketika Anesecritus berada di India, yang ikut rombongan Iskandar Zulkarnain (536-323 SM), ia telah menemukan perahu-perahu dari Sumatra yang singgah dan berlayar secara teratur di negeri itu.
           
Cladius Ptomoleus mencantumkan dalam petanya nama Malai-Colon, yang berlokasi di ujung tanah Semenanjung. Diperkirakan masa itu adalah awal abad ke 1, namaMelayu telah dikenal orang. Namun belum ada berita; apakah Melayu itu merupakan suatu suku bangsa. Catatan sejarah lebih menjelaskan nama Suwarnadwipa. Pada abad ke 5 M di Sumatra dijumpai kerajaan Kuntala atau Kuntoli. Kerajaan tersebut diberitakan didirikan oleh para penganut Budha dari Gandara di India Selatan. Kemungkinan mereka datang seabad sebelumnya karena tertarik akan banyaknya emas di pulau tersebut. Tahun 441 M, kerajaan tersebut telah kuat dan segera mengirim utusan ke Cina. Pengiriman utusan tersebut dilakukan secara berkesinambungan sampai tahun 520 M. Konon pusat kerajaan Kuntala berada di Kuala Tungkal dekat perbatasan Jambi dan Riau.
           
Walaupun diperkirakan kerajaan pertama di Sumatra tersebut adalah Kuntala, menurut catatan sejarah. Akan tetapi para ahli sejarah saling berbeda pendapat untuk menetapkan lokasinya. Kuntala diidentifikasikan sebagai Kandali yang menurut dialek Cina disebut Kantali. Berdasarkan berita Cina, yang mengatakan bahwa kerajaan tersebut telah mengirim utusan ke Cina pada tahun 441 sampai 520. Maka para ahli sejarah mencoba mencari lokasi kerajaan itu. Antara lain: di Muangthai karena di sana ditemui tempat yang bernama Kantoli. Dan pula yang mengatakan lokasinya, di Aceh timur, suatu tempat yang sekarang bernama Singkil.
           
San-fo-tsi memberitakan bahwa kerajaan Kuntala tersebut berada di Tambesi. Maksudnya adalah Sriwijaya, yang berkedudukan di Palembang. Sedangkan Slametmulyana berpendapat bahwa lokasinya memang di Kuala Tungkal sekarang. Menurut dia Kuntala bermula berasal dari Gandhara, sebuah tempat di India. Kemudian para biksu Budha datang ke sana, dan mendirikan kerajaan dengan nama negeri asalnya. Hal tersebut sama dengan biksu Budha yang datang dari Mahat di India. Lalu memberi nama negeri yang didatanginya itu dengan nama negeri asalnya, pada pemukimannya  dekat candi Muara Takus di tepi sungai Kampar. Dan apakah kerajaan Kuntala ini, sama dengan Darmasraya, yang juga diberitakan sebagai kerajaan Melayu tertua. Tampak para sejarahwan belum dapat menjelaskan dengan pasti. Kendati pun lokasinya kedua kerajaan ini menunjukan kesamaan.
           
Sekitar abad ke 8 kerajaan Melayu (yang semula bernama Kuntala) mulai jaya, dan lebih dikenal dengan nama Sriwijaya. Sriwijaya pada masa kejayaan telah menguasai seluruh Sumatra, Semenanjung, Jawa, Kalimantan. Kerajaan Sriwijaya pun dikenal dengan nama Suwarnabhumi dengan pusat kerajaannya di Jambi sekarang.

Dikisahkan dalam Tambo bahwa nenek moyang suku bangsa Minangkabau, berangkat dari tanah asalnya, daratan Asia menuju pulau Andalas. Keberangkatan tersebut dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra ketiga dari Iskandar Zulkarnain. Iskandar Zulkarnain adalah Raja Yunani disebutkan dalam tambo mempunyai tiga orang putra. Putranya yang pertama, yaitu Maharaja Alif yang turun ke negeri Ruhum (Rum Timur), dan putra kedua adalah Mahaja Depang, turun ke negeri Cina, sedangkan yang ketiga adalah Mahara Diraja turun ke pulau Paco (Perca) atau lebih dikenal dengan nama pulau Andalas.
           
Maharaja Diraja berangkat menuju pulau Andalas dengan membawa rombongan, rombongan tersebut adalah istri dan para pengikutnya. Tambo mengisahkan rombongan tersebut, yaitu:

  • Anak Rajo
  • Harimau Campo
  • Kucing Siam
  • Kambing Hutan
  • Anjing Mualim
Harimau Campo adalah berasal dari Campo. Dan Kucing Siam, berasal dari Kochin Siam, Kambing Hutan dari Bhutan. Sementara itu Anjing Mualim berasal dari negeri Cina.Penamaan para pengikut Maharaja Diraja sesuai dengan tingkah laku dan asal mereka. Khusus nama Anjing Mualim, saya sebagai penulis menafsirkan, nama tersebut adalah perubahan dari dialek (ucapan). Sebenarnya ia bernama An Jian yang bertugas sebagai mualim atau nakhoda kapal dalam pelayaran besar tersebut. Tapi ada juga penulis lainnya yang menyebutkan An Jian itu seorang mualim (nakhoda) atau seorang ulama. Sedangkan keempat orang tersebut: Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan, dan Anjing Mualim, adalah istri-istri raja.
          
 Dalam pelayarannya dari daratan Asia itu, Maharajo Dirajo melintasi lautan, yang memakan waktu berbulan-bulan. Dan seperti disebutkan dalam mamangan, "Lauik sati, rantau batuah” (Laut sakti, rantau bertuah), maka dalam pelayaran melintasi lautan tersebut, rombongan itu pun mendapat halangan. Pada suatu hari mereka kapal yang mereka tompangi dihantam badai topan. Kapal itu terombang-ambing di tengah samudera luas bagai sebuah sabut kering di tengah gelombang besar. Banyak penumpang yang mabuk, terhempas ke sana-sini mengikuti ayunan gelombang, tiang kapal patah. Sehingga kapal tersebut semakin oleng. Melihat keadaan seperti itu, segera Maharaja Diraja bersama beberapa orang pembantunya turun ke dek.
           
Gelombang semakin besar, air laut muncrat ke atas kapal. Dan tiba-tiba mahkota di atas kepala Maharaja Diraja jatuh ke laut. Mahkota itu melayang jatuh dan akhirnya tenggelam ke dasar laut. Bersamaan dengan itu, seekor naga yang bersarang dalam samudera tersebut menerkamnya, dan menaruh di kepalanya.
           
Terperangah Maharaja Diraja, ia sangat bersedih akan kehilangan mahkotanya. Mahkota adalah lambang statusnya sebagai seorang raja. Ia tidak mungkin melanjutkan perjalanan tanpa mahkota tersebut. Ia menoleh pada Cati Bilang Pandai, seorang pembantunya yang dikenal memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan yang luas.(*6)
            "Kita tidak mungkin melanjutkan pelayaran, sebelum mahkota itu diambil,” kata Maharaja Diraja pada Cati Bilang Pandai. "Tapi mahkota itu kini berada di atas kepala naga yang berdiam dalam samudera.”
            "Tuanku jangan cemas. Mahkota itu bisa kita buat kembali.”
            "Membuat mahkota itu kembali? Mustahil kita bisa membuat mahkota tersebut. Apalagi kita sedang diamuk gelombang. Pandai besi dan emas mana yang mampu membuat mahkota dalam keadaan darurat seperti ini,” ujar Maharaja Diraja putus asa.
           
Cati Bilang Pandai tiba-tiba mengeluarkan sebuah benda dalam jubahnya. Benda itu adalah sebuah cermin. Ketika benda tersebut diacungkan Cati Bilang Pandai ke angkasa, badai dan gelombang berhenti. "Tuanku, benda ini adalah pusaka nenek moyangku. Namanya, Kaca Camin Taruih.”
            "Kaca Camin Taruih…Apa benda itu dapat mengganti mahkota denai yang jatuh ke dasar laut itu. Atau bisa mengambilnya dari kepala naga tersebut?”
            Cati Bilang Pandai tidak menjawab ucapan Maharaja Diraja. Ia segera melangkah ke pinggir dek, bertelekan pada kisi-kisi, dan memandang ke laut sejenak. Kemudian menghadapkan Kaca Camin Taruih ke dalam laut. Dari benda itu memancarkan seberkas sinar, yang memantul kembali ke dalam cermin.
           
Maharaja Diraja dan beberapa orang yang ada di dek itu terpana. Betapa dalam kaca tersebut terlihat seekor naga yang sedang memakai mahkota milik Maharaja Diraja. Pancaran sinar dari kaca ajaib itu menarik mahkota yang ada pada kepala naga, bagai sebuah magnit yang berkuatan besar. Sang naga dalam samudera tidak mampu menahannya, mahkota tersebut terangkat ke atas kapal, dan secara mengejutkan, hinggap kembali di atas kepala Maharaja Diraja.
            "Mahkota tuanku telah kembali,” ujar Cati Bilang Pandai.
            Maharaja Diraja memegang kepalanya, benar, mahkota itu telah kembali bertengger di atas kepalanya. Dalam pada itu, sang naga yang berada dalam samudera, menghilang entah ke mana. (*7)
           
Setelah badai reda, tiang kapal yang patah diperbaiki, Maharaja Diraja memerintahkan kembali untuk meneruskan pelayaran. Kian lama kian jauh rombongan tersebut berlayar. Suatu ketika salah seorang penumpang kapal melihat puncak Merapi. Ia berseru riang,” Di sana ada dataran!”
           
Maharaja Diraja dan Cati Bilang Pandai pun melihat puncak Merapi dari anjungan kapal. Karena jauhnya gunung Merapi tersebut, terlihat seperti telur itik (telur bebek). Segeralah kapal diarahkan ke sana, dan akhirnya kapal tersebut merapat di sebuah perkampungan. Tempat mendarat dan berlabuhnya kapal Maharaja Diraja disebut lagundi nan baselo. Tatkala itu dikabarkan bahwa gunung Merapi menyentak naik, dan laut disebut menyentak turun. Pengertiannya, gunung Merapi tidak lagi sebesar telur bebek tapi sudah layaknya sebuah gunung. Sedangkan laut yang tadinya bergelombang tinggi, kini sudah tenang.
           
Ternyata dari lagundi nan baselo ke gunung Merapi, tidaklah seperti yang mereka bayangkan. Gunung Merapi itu terletak sangat jauh, untuk mencapainya mereka harus menyusuri hutan belantara, melintasi sungai, menuruni jurang, dan berjalan di antara padang rumput. Sayangnya, dalam Tambo tidak dikisahkan suka duka perjalanan mereka yang akhirnya mencapai gunung Merapi.
          
 Rombongan Maharaja Diraja berhenti pada sebuah kawasan, yang kemudian dinamakan Pariangan Padangpanjang. Tentang penamaan Pariangan Padangpanjang ada  penulis yang menjelaskan bahwa rombongan tersebut sangat riang ketika telah berhasil membunuh seekor ular besar, yang selama ini menjadi sumber malapetaka bagi penduduk di sana. Ular besar tersebut adalah jelmaan Kati Muno. Sedangkan pemakaian nama Padangpanjang, adalah karena dalam membuka lahan, Maharaja Diraja menggunakan pedang panjang. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa Parahiyangan tersebut merupakan tempat bersemayamnya para Hyang (dewa-dewa).
           
Setelah itu maka dibentuk taratak, kemudian kampung, lalu kampung disatukan maka disebut dusun. Dari dusun maka dibentuk koto dan nagari. Demikianlah Maharaja Diraja menyusun taratak sampai menjadi Nagari, di sekitar lereng gunung Merapi.
           
Pariangan Padangpanjang semakin lama semakin padat penduduknya, maka dibukalah lahan baru. Sebagian masyarakat Pariangan Padangpanjang dipindahkan ke kaki gunung Merapi, ke tanah yang lebih datar (Tanah Datar). Kian hari, kian tahun penduduk semakin berkembang, dan lahan baru pun terus dibuka. Pada daerah baru tersebut pun dibentuk nagari, seperti: Sungai Jambu, Limo Kaum, Sungai Tarab, Tanjung Sungayang, Sumanik, Saruaso, Padang Ganting, Batipuh Buo, Sumpur Kudus.
           
Kepadatan penduduk membuat Maharaja Diraja terus melakukan pembukaan dan pencarian kawasan baru, kawasan yang lebih subur. Maka daerah baru yang mereka buka itu disebut dengan luhak Agam. Mereka dalam perjalanan mencari dan membuka lahan baru yang subur itu, tidaklah serentak. Tapi secara bertahap dengan masing-masing rombongan.
           
Pemindahan yang lainnya diarahkan ke kaki gunung Sago. Lima puluh keluarga dari Tanah Datar pindah ke kaki gunung Sago,  mereka membentuk kampung dan nagari  Inilah yang disebut Luhak Limo Puluh Koto.
           
Ketiga tanah tersebut dilukiskan sangat subur. Agam dikatakan: buminya hangat, airnya keruh dan ikannya liar. Lima Puluh Koto dikatakan: buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak. Sementara itu Tanah Darat ditamsilkan: buminya nyaman, airnya tawar, ikannya banyak. Dan ketiganya disebut Luhak nan Tig
o.

sumber:tambodunia.blogspot.com
Category: Minangkabau | Views: 2854 | Added by: dash | Rating: 2.5/2
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: