Selasa, 19 Mar 2024, 8:04:15

8:04:20
PERJANJIAN BUKIT MARAPALAM

Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Dalam sejarah  Minangkabau dikenal adanya perjanjain Bukit  Marapalam. Perjanjian ini merupakan kesepakatan kalangan ulama dengan pemuka adat dalam menentukan kedudukan agama dan adat bagi masyarakat.  Materi kesepakatan ini hampir semua penulis sejarah Minangkabau menyebut berkaitan dengan hubungan  adat dan agama  dalam kehidupan masyarakat. Pembicaraan awal  mempertemukan kalangan adat dan ulama  dirintis oleh Syekh Burhanuddin    bersama pemuka adat dari rantau. Buah dari kesepakatan Darek dan Rantau yang dilalukan oleh  Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu menjadi titik awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu:

(1)Amai Said

(2)Rajo Dihulu

(3)Rajo Mangkuto

(4) Rajo Sulaeman.

(5)PandukoMagek

6)TanBasa.

(7)MajoBasa.

(8)Malako                           

(9)Malakewi.

(10)Rangkayo Batuah

(11)Rajo Sampono 

Menemui Basa Ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau dan  memperkatakan (membincangkan) agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat menemui Basa Ampek Balai atas inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat dari Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato (berasal dari Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini karena dari sini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit Marapalam itu berbunyi:

" Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”

Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini  hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai mati yang akan ditopang,bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau ,dengan ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami mengikrarkan bahwa: Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi kapado kitabullah, syarak mengato adaik  mamakai.(Adat bersendikan syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak (agama) menyatakan adat melaksanakan

Sagala undang-undang  adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan Rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama Islam). Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu kepada rakyat di alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama Syarak Syekh Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat  Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang dipertuankan di Pagaruyung.

Setelah selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai bersama Syekh Burhanuddin dan rombongan minta pengesahan kepada Yang dipertuankan rajo alam Minangkabau di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa ajaran Syiah, sehinga dapat pula kesepakatan bahwa agama Islam yang akan dikembangkan di Minangkabau adalah menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui para Ulama dan Penghulu diaturlah adat dan syarak di Luhak dan nagari sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum dan hak alam serta dinamika dan daya cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun budaya. Kemudian sesuai perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku Nan Tigo Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Kelembagaan Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang Ampek Jinih, jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam, Khatib, Labai, dan pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika dinagari dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai dan ba musajik

Sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan penyebaran  kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam  filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat :Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). Syarak mengato adaik mamakai, (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag,adaik yang baik (Islamiyah) dipakai(Maksudnya adat yang  baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.) Syarak dan adat itu bak aur jo tabing , sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al’adatul muhkamah (Adat itu  menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan  menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran  tinggi Minangkabau)

Inilah bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama  di Minangkabau yang kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan  Bukit Marapalam merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau, dan sekaligus menjadi starting point  bagi Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas  dan diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami oleh generasi muda Minang di masa depan.

Di lain pihak, ada  pendapat  yang menempatkan perjanjian Bukit Marapalam sebagai pucak integrasi dan sintesis  akhir dari konflik cultural,  baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni setelah berakhirnya Perang Paderi. Telaah  yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya Minangkabau yang sintetik itu pada  dasarnya bersifat universal. Jikok dibalun sabalun kuku, jika dikambang saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru. Alam terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak beraturan, tetapi sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum alam. Semua pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana filsafat adat dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam itu ternyata adalah sunnatullah. Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah itu. Inilah sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah ajaran budi, dan budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy), yang tujuannya adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar sesuai dengan hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan unsur-unsur kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik (Ketuhanan dan alam akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan Kemaha-Kuasaan Allah. Karena filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur dengan paham kosmologi  pra Islam yang berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka tidak ada yang harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan gerakan Reformasi selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal pertama abad 20 di Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan takhyul, syirik, bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam itu,  tetapi kepada praktek -praktek heretek (menyimpang) pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam; misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung ayam, main perempuan, berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu sama sekali tidak diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek inilah yang diperangi oleh gerakan Puritanisme Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang berikutnya. Ini juga sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan budi bersintesis dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi, tetapi yang sekarang dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta Muhammad Rasulullah SAW panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang menanti.

Dalam proses pengintegrasian  dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata sepakat akhirnya dibuhul dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad ke 19 sesudah Perang Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini terlihat dengan jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak dan Kitabullah. Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan pendampingnya, seperti ungkapan : Syarak mengato adaik mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk (jahliyah dibuang dan baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan hirarkinya adalah demikian ,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan antara adat dan syarak, yang diatasn ya adalah al-Qur’an  kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.

Sisi lain yang patut juga dipahami bahwa  Perjanjian Bukit Marapalam adalah merupakan suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau. Amir Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau IAIN Jakarta hal.328-51 menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga priode besar yaitu :

(1) Masa di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat " Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak Basandi Dalil” ini adalah masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana dominasi adat sangat begitu kuat dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim sosial masyarakat.

(2) Priode sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan Islam telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat namun masih belum  berpengaruh, karena ia baru saja diterima oleh masyarakat  dan nilai-nilai moral yang dibawa Islam sejalan dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah  adatnya pada masa ini " Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat”.

(3) Priode  ketiga  lahir sebagai buah dari ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang pada mula bertujuan untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian menjadi  perebutan kekuasaan  antara kaum agama dan kaum adat, sayang kedua-duanya  kalah dan Belanda berhasil memasuki Menangkabau. Puncak ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan akomodasi dan itu dituangkan dalam Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga melahirkan filosofi adat "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”

Perbedaan lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam  dapat ditarik suatu benang merah yang tidak saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17 Masehi)  dan masa  sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak waktu dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan pendekatan yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin memang di abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis antara adat dan agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di Rantau menemui Basa Ampek Balai  untuk merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah merupakan modal awal bagi lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum bersejarah dalam proses integrasi dan sintesis adat dan agama  seperti yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas. Bisa juga diinterpretasikan  bahwa Perjanjian Bukit Marapalam  pasca Paderi  (abad ke 19 ) adalah tindak lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam pertama yang telah disponsori oleh Syekh Burhanuddin dulunya.

            Argumen lain yang patut dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam itu baru sesudah Paderi, maka bagaimana mungkin Tambo adat alam Minangkabau yang menjelaskan tentang   pokok pembicaraan sebelum perjanjian dibuat  yang dikenal dengan 10 (sepuluh) landasan pokok dalam penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada adat, yaitu adat, istiadat, nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh pada Pusako, yaitu: kalo-kalo, baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam itu telah  ditulis. Aturan adat  itu ditulis dengan huruf arab melayu. Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas setelah Islam menyebar melalui lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di rintis Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian Bukit Marapalam pertama itu telah  terlaksana pada abad 17  berdasarkan dorongan dan desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka adat dari rantau, Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga waktu itu.

            Patut juga menjadi bahan renungan pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa memilih antara data historis yang didukung oleh  bukti ilmiah  dengan  penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan  adat adalah sesuatu yang memerlukan kajian dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak mungkin kebiasaan berpikir "ilusif dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya disamping tentu ada pula yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada sejarah masa  lalu masih saja menjadi faktor penghambat menemukan kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau Islamisasi Minangkabau masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah ditulis itu baru sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui cerita lisan.  Kondisi seperti ini patut menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam  Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian luasnya. Yang pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa lalu keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu diragukan lagi,  karena  bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan.    Lebih dari itu, bagi Ulama , cendikiawan Islam  dan pemuka adat Minangkabau perlu menangkap semangat zaman  bagaimana Adat dan Agama ini dapat diwariskan  dalam pengertian yang lebih rasional dan dan dapat mendorong  akselerasi (Percepatan) tumbuhnya generasi yang berbasiskan pada "Adat dan Agama " sebagai identitas dirinya di era moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan meluas.

Perjanjian bukit marapalam  itu adalah  bentuk final dari persenyawaan adat dan agama di alam Minangkabau. Meskipun tidak dapat  dipungkuri bahwa pemerintahan  di  Minangkabau  diatur menurut  dua  sistem,  yaitu Sistem Koto  Piliang  dan  Sistem Bodi  Caniago.  Gagasan yang dituangkan oleh Datuk Katumanggungan disebut laras Koto Piliang,  sedangkan yang dituangkan atau dititahkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang  dikenal dengan  laras Bodi  Caniago. Kedua kelarasan  ini melahirkan  aturan-aturan (adat)  yang menjadi  way  of  life (pandangan  hidup) orang  Minangkabau  yang  didasarkan kepada  ketentuan  nyata  yang terdapat  dalam alam  kehidupan dan alam  pikiran seperti yang  ditemukan  dalam pepatah  "  alam takambang  menjadi  guru ". Sistim baru yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama diatas tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya ini. Akan tetapi, ia memperkokoh   jalinan  hubungan  yang  erat  antara  lembaga keagamaan (surau)  sebagai pusat ibadat dengan kerajaan  sebagai  pusat  kekuasaan menjadi begitu kokoh dan satu dalam kehidupan sosial budaya ,seperti yang   diisyaratkan oleh pepatah " syara’ mangato adat  mamakai” (agama memberikan fatwa dan adat melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan sangat ‘aib  jika  orang Minang dikatakan sebagai orang yang tidak beradat  atau tidak beragama. 

Buah dari jalinan  adat dan agama  melahirkan tumbuhnya tradisi   surau, di mana masing-masing suku dari masing daerah di ranah Minang mempunyai surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku dalam satu kampung yang tidak punya surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada umumnya   berbau mistik, karena  inilah   yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi  seperti misalnya Ibn ‘Arabi dan al-Jilli,  Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili  adalah tokoh yang dikenal luas dalam wacana keagamaan di surau. Demikian juga hanya di surau  telah di perkenalkan  empat tarikat fase awal abad ke 17 M. yaitu ; tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M), Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388  M), Syattariyah oleh Abdul Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi.  Dari keempat tarikat tersebut, tarikat Syatariyah mempunyai penganut  banyak yang dalam dan luas, yang pada mula bersumber dari  Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid Syekh Burhanuddin di Minangkabau.

Selain melalui Tarekat, Islam telah dikembangkan juga melalui perkawinan. Pada umumnya para pedagang Islam telah mempunyai perkampungan  etnis sendiri, sehingga mereka cenderung untuk tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga langkah ini menunjang tersebarnya Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang ke daerah pedalaman.  Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh terutama di kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3. Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang.Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari mesti ada pula empat jinih (jenis) yaitu ; a. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri dengan adatnya sendiri, laksana republik-repuplik kecil yang berhak mengatur nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano, maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai Malano dan lain sebagainya. Semua gelar itu mereka dasari kepada bahasa-bahasa Umat Islam (bahasa Arab).

Selain pengaruh di atas, terlihat lagi dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau. Tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal Padri-Onlusten op Sumatra  tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam  sangat relevan dengan masyarakat Minangkabau. Hal itu tercermin semenjak orang Minangkabau menerima Islam sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya.

Begitu erat dan kentalnya adat di Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir pada mulanya istilah  Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi Adat, dalam musyawarah Bukit Marapalam , lahirlah perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu  :  Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah. Selanjutnya lebih nampak lagi dalam pepatah Minang,  Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam sejalan), atau yang lebih tegas lagi adalah  Syara’ bertilanjang, adat bersisamping ( ulama berbicara secara tegas dan tuntas, sedangkan adat berbicara dengan kata  kiasan.



 

 

 

 

Category: Minangkabau | Views: 6904 | Added by: dash | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: