2:24:39 SILEK MINANG (1) | SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA | |
Silat Minangkabau atau lebih dikenal dengan "Silek Minang” adalah salah satu kebudayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak mendiami bumi Minangkabau pada zaman dahulu. Kita akan mencoba menelusuri jejak – jejak
sejarah silat Minangkabau dari sumber sejarah Minangkabau yaitu Tambo Alam
Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa petatah, petitih ataupun mamang
adat. Menurut tambo ternyata Silat Minang dulu dikembangkan oleh salah seorang
penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk Suri Diraja”, biasa
dipanggil dengan nama "Ninik Datuk Suri Diraja” oleh orang – orang Minang saat
ini. Ninik Datuk Suri Diraja , adalah orang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, yang dikenal dengan gelar Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18). Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam Minangkabau” (Studi perbandingan sejarah) halaman 10. Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi” , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22). Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb. Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar ("Mamak Rumah”) dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula beliau adalah "Mamak kandung” dari Datuk Nan Baduo. Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa ( Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Hindustan dahulunya. Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu bernama "Dapunta Hyang”. ( Mid.Jamal, 1984:35). Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam), Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa , Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat. Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.
Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Minanga Kabwa dibaca: Minangkabau.
Silat Minangkabau atau lebih dikenal dengan "Silek Minang” adalah salah satu kebudayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak mendiami bumi Minangkabau pada zaman dahulu. Asal usul Silat Minangkabau Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan. Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu
isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu
dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo
Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam
lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata "Logy”. Hanya saja pembuktian mitology
berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam
bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan,
karena banyak obyeknya bukan material; melainkan "Spritual atau kebatinan”.
walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu
"kebenaran” , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang
dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala
benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula
mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya.
Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. Demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi "teluh” tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui "makrifat”.
Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) "sudah menganut agama Islam”. Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh "hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah” (MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun. Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nenek moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal , misalnya "Kucieng Siam” memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja. Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan
menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode, dll bagi silat Minang,
yaitu Langkah Tigo Langkah Ampek Langkah Sembilan Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa. Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk
Suridiraja memiliki juga "kepandaian batiniyah yang disebut Gayueng”. (I.Dt
Sangguno Dirajo, 1919:22) Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :
Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa. Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri
Diraja yang disebut "Gayueng” dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua,
yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :
Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah ” PANARUHAN ” atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah Minang : ” Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik” diberikan kepada Sang Guru. PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU
Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya.Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:
Menurut alirannya maka"
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau "langkah Empat”. Dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk
oleh Ninik Datuk Suri Diraja. jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan
yang menjadi inti yang khas: Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng
Mualim ). kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah
Sembilan. Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai Silat, namun
sudah berubah dengan nama Pencak (Mancak). Bersambung ke "SILEK MINANG (2) SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA"
http://raunsabalik.ucoz.com/news/2013-03-13-56
| |
|
Total comments: 0 | |