Selasa, 19 Mar 2024, 10:38:48

1:14:16
ISTANA PAGARUYUANG | SEJARAH LINDUANG BULAN

Diresmikan pada tanggal 21 dan 23 Desember 1989. Merupakan pengganti Rumah Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang terbakar pada 3 Agustus 1961. Merupakan untaian dari sejarah yang panjang yang tak terputuskan dari masa kerajaan Pagaruyung tempo dulu.

Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam  (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana. Kemudian Istano Si Linduang Bulan ini di bangun lagi pada tahun 1750, karena Istano lama telah tua dan mulai runtuh. Pada tahun 1821 Istano Si Linduang Bulan terbakar dalam kecamuk Perang Padri. Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi. Pada tanggal 3 Agustus 1961 Istano Si Linduang Bulan terbakar lagi.

Istano Si Linduang Bulan yang ada sekarang didirikan kembali di tapak Istano yang terbakar pada tahun 1961. Pembangunannya dimulai pada tahun  1987 dan diresmikan pada tahun 1989. Diprakarsai oleh Drs. Sutan Oesman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin H. Raja Harun, Raja Syahmenan bin H.Raja Harun, Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah, Basa Ampek Balai, ninik mamak Nagari Pagaruyung, anak cucu keturunan dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dalam kaitannya sebagai "Sapiah Balahan, Kuduang Karatan”. Kemudian didorong sepenuhnya oleh Ir. H. Azwar Anas Gubenur Sumatera Barat.

Sedangkan pembangunan Istano Si Linduang Bulan dibiayai secara bersama oleh keluarga ahli waris dan anak cucu keturunan serta zuriat dari Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung beserta masyarakat adat.

Peresmiannya dilakukan dalam sebuah upacara adat kebesaran, melibatkan para pemangku adat se alam Minangkabau: Basa Ampek Balai, Tuan Gadang Batipuah, Tampuak Tangkai Alam di Pariangan, Gajah Gadang Patah Gadiang di Limo Kaum, Simarajo Nan Sambilan, Langgam Nan Tujuah, Lubuak Nan Tigo, Tanjuang Nan Ampek, Sapiah Balahan Kuduang Karatan, Kapak Radai, Timbang Pacahan dan zuriat keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Dihadiri para pejabat Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kodya se Sumatera Barat. Serta Undangan Khusus yang datang dari Kerabat Raja Negeri Sembilan, Sri Sultan Hamengkubuono X, dari Brunei Darussalam, keluarga Paku Alam dan Sisingamangaraja.

Di Pagaruyung terdapat dua buah istana. Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan)  di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Pada 27 Februari 2007 Istano Basa terbakar disambar petir meluluh lantakkan semua bangunan tersebut.Bentuk, ukuran dan ukiranRumah Gadang Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang yang sangat khusus dengan style "Alang Babega”.Mempunyai tujuh buah gonjong (tajuk) yang megah seakan mencucuk langit. Sedangkan rumah gadang lain yang ada di Minangkabau memakai bermacam style: Gajah Maharam, Rajo Babandiang, Sitinjau Lauik dan sebagainya. Style "Alang Babega    " merupakan khas style rumah gadang raja.

Istano Si Linduang Bulan disebut juga rumah gadang sambilan ruang dengan ukuran 28 x 8 meter dan di halamannya berdiri dua buah rangkiang; Si Bayau-bayau dan Si Tinjau Lauik. Rumah Gadang ini mempunyai empat buah bilik atau  kamar tidur dan dua buah anjuang di samping kanan Anjuang Emas dan di samping kiri Anjuang Perak. Di bagian belakangnya terdapat sebuah dapur yang khas. Tiang penyangga rumah gadang ini berjumlah 52 buah terdiri dari: delapan buah di barisan depan disebut Tiang tapi panagua alek. Barisan kedua memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tamban suko mananti, barisan ketiga memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tangah manti salapan, salah satu dari 12 tiang ini disebut Tonggak Tuo atau disebut juga Tiang panjang simajolelo yang terletak di bagian kanan setelah pintu masuk. Barisan keempat berjumlah 12 tiang disebut "Tiang dalam puti bakuruang” yang menjadi penopang bagian tengah rumah. Selanjutnya 12 tiang lagi disebut tiang salek dindiangnyo samiek. Barisan tiang ini membatasi dinding belakang dengan bagian muka bilik atau ruang tidur. Delapan tiang lagi di bagian belakang disebut Tiang dapua suko dilabo. Kedua anjuang di ujung kiri dan kanan rumah adalah tempat "Kedudukan Rajo” atau tahta raja, yakni "Rajo Tuo” di Anjuang Emas dan "Tuan Gadih” di Anjuang Perak

Ukiran yang membalut Istano Si Linduang Bulan berjumlah lebih dari 200 macam motif ukiran. Hampir seluruh motif ukiran Minangkabau terdapat di Istano Si Linduang Bulan. Ukiran itu mendominasi bentuk luar fisik bangunan yang kaya dengan simbol-simbol.  Setiap ukiran dan penempatannya mempunyai makna sendiri-sendiri, sebagai tanda bahwa Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang raja atau rumah pemimpin rakyat atau sebagai”Pusat Adat”.

Beberapa motif ukirannya antara lain terdapat di bandua Ayam bagian memanjang di bawah jendela, dihiasi tiga jenis ukiran: Aka Cino Bapilin, Sikambang Manih dan Siriah Gadang. Pada bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran: Pucuak Rabuang dan Aka Cino ditambah dengan hiasan kaca Tabentang Kalangik. Pada jalusi di atas jendela dihiasi dengan ukiran tembus dengan motif Si Kambang Manih. Pada bagian di bawah pinggir atap yang disebut dampa-dampa dihiasi dengan tiga jenis ukiran: Pisang Sasikek, Aka Cino dan Tantadu Bararak. Pada pintu masuk ditemukan berbagai ukiran: Tupai Managun, Daun Bodi, Saik Wajik, Bungo Lado, Buah Palo Bapatah,  Itiak Pulang Patang.

Banyak lagi bagian-bagian pada dinding Istano Si Linduang Bulan yang diukir dengan berbagai jenis ukiran. Umumnya ukiran-ukiran itu didominasi oleh warna-warna: merah, kuning, hitam dan diselingi oleh warna coklat (warna tanah) serta warna perak dan emas.

Di bagian dalam Istano Si Linduang Bulan semua bagian ditutupi dengan kain tabir dan langik-langik dengan sulaman bertatah warna emas dengan berbagai motif pula. Ini semua merupakan hasil kerajinan rakyat dari nagari-nagari di sekitar Pagaruyung antara lain: Sungayang, Pandai Sikek.

Sekarang Istano Si Linduang Bulan tidak lagi menampilkan sosoknya sebagai Istana Raja, karena sejak kemerdekaan Republik Indonesia, keluarga ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung sudah menyatukan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Namun begitu Istano Si Linduang Bulan tetap berfungsi sebagai Pusat Adat bagi masyarakat Minangkabau. Fungsi ini sudah merupakan adat dan menjadi bagian dari budaya bangsa.

Dia adalah anak dari Puti Reno Marak Rindang Ranggowani dengan Tuanku Rajo di Buo (Raja Adat ke II). Gelar Tuan Gadih ke II diwariskan kepada Puti Reno Nalo Nali anak dari Tuan Gadih Puti Reno Maharani dengan Rajo Bagewang II (Tuan Titah ke V).

Tuan Gadih ke III adalah Puti Reno Jalito anak Tuan Gadih Puti Reno Nalo Nali dengan Tuan Titah VI. Tuan Gadih ke IV adalah Puti Reno Pomaisuri anak dari Tuan Gadih Puti Reno Jalito dengan Daulat Yang Dipertuan Batu Hitam Raja Alam Pagaruyung. Tuan Gadih Pomaisuri adalah permaisuri dari Yam Tuan Bakilap Alam (Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alif I) yang menjadi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat sekaligus. Pada masanya (diperkirakan tahun 1580) Istana Pagaruyung dipindahkan ke Melayu Ujung Kapalo Koto di Balai Janggo Pagaruyung, sekaligus menandai era keIslaman dalam kerajaan tersebut.

Anaknya Puti Reno Rampiang memakai gelar Tuan Gadih ke V. Puti Reno Baruaci anak dari Puti Reno Rampiang Tuan Gadih ke V dengan Yamtuan Rajo Samik I (Raja Ibadat) di Sumpur memakai gelar Tuan Gadih ke VI. Puti Reno Kuniang anak dari Puti Reno Baruaci Tuan Gadih ke VI dengan Daulat Yang Dipertuan Paduka Sri Sulthan Ahmadsyah (Yam Tuan Rajo Barandangan (Raja Alam) diperkirakan tahun 1670 memakai gelar Tuan Gadih ke VII sekaligus menjadi Raja Adat. Puti Reno Janggo anak dari Puti Reno Kuniang dengan Yam Tuan Rajo Pingai memakai gelar Tuan Gadih ke VIII sekaligus menjadi Raja Adat.

Puti Reno Suto anak dari Puti Reno Janggo dengan Daulat Yang Dipertuan Raja Bagagarsyah Alam (Yam Tuan Jambang Raja Alam di Balai Janggo memakai gelar Tuan Gadih ke IX sekaligus menjadi Raja Adat berkedudukan di Balai Janggo Pagaruyung. Puti Reno Aluih memakai gelar Tuan Gadih ke X adalah anak dari Puti Reno Janggo Tuan Gadih ke IX dengan Yam Tuan Rajo Gamuyang (Tuan Titah ke XII). Puti Reno Janji memakai gelar Tuan Gadih ke XI adalah anak dari Puti Reno Aluih Tuan Gadih ke X dengan Yam Tuan Balambangan (Makhudum Sumanik). Puti Reno Sori memakai gelar Tuan Gadih ke XII adalah anak dari Puti Reno Janji Tuan Gadih ke XI dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah II (Raja Alam pada tahun 1780). Puti Reno Sumpu memakai gelar Tuan Gadih XIII adalah anak dari Puti Reno Sori Tuan Gadih ke XII dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Abdul Jalil (Yam Tuan Garang atau Yang Dipertuan Sembahyang, Raja Adat).

Puti Reno Sumpu ini mewarisi Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat setelah mamaknya Sulthan Alam Bagagarsyah (Yang Dipertuan Hitam, Raja Alam) dibuang Belanda ke Betawi dan ayahnya Sulthan Abdul Jalil(Raja Adat) mangkat. Puti Reno Saiyah memakai gelar Tuan Gadih ke XIV (Tuan Gadih Mudo) adalah anak dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih ke XIII dengan Sutan Mangun Tuah anak dari Sulthan Alam Bagagarsyah (Tuan Titah ke XVI). Tuan Gadih ke XV adalah anak-anak dari Puti Reno Saiyah Tuan Gadih ke XIV dengan Sutan Badrunsyah (cucu dari Sulthan Alam Bagagarsyah) yaitu: Puti Reno Aminah memakai gelar Tuan Gadih Hitam, Puti Reno Halimah memakai gelar Tuan Gadih Uniang dan Puti Reno Fatimah memakai gelar Tuan Gadih Etek. Dan sekarang yang memakai gelar Tuan Gadih ke XVI adalah Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (anak dari Tuan Gadih Hitam), Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah dan Puti Reno Fatimah Zahara Tuan Gadih Etek (anak Tuan Gadih Ketek).

Gelaran Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja disamping Raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan Bujang. Dengan demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi raja Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan, istri) dipanggilkan Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu, adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; Adat rajo turun tamurun, adat puti sunduik basunduik. Turun tamurun atau turun temurun, dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal. Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat lagi kalau ayahnya juga keturunan raja.

Para perempuan keturunan raja menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja. Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam tambo Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran, sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam garis matrlinel.

Disamping gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung ada Tuan Gadih Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang kawin dengan Indomo Saruaso adalah anak dari Puti Reno Pomaisuri Tuan Gadih ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi sampai Tuan Gadih Saruaso ke VII yaitu yang terakhir yang kawin dengan Daulat Yang Dipertuan Sulthan Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan Basusu Ampek).

Dalam catatan Raffles sewaktu berkunjung ke pedalaman Minangkabau, dia menjumpai seorang raja perempuan Minangkabau yang bernama Yang Dipertuan Gadis Saruaso. Yang dimaksudkan Raffles tersebut adalah salah seorang dari keturunan raja yang berada di Saruaso. Begitu juga dalam catatan Belanda, ditemukan nama Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu, kemenakan dari Sultan Alam Bagagar Syah, anak dari Yang Dipertuan Sembahyang. Hasil perkawinan Yang Dipertuan Sembahyang dengan Tuan Gadis Puti Reno Sori.

Yang Dipertuan Reno Sumpu disebut demikian karena beliau lahir di Sumpur Kudus, dalam masa ayahnya Yang Dipertuan Sembahyang yang menjadi Raja Adat dengan Tuan Gadih Puti Reno Sori menetap di rantau itu di penghujung Perang Paderi. Oleh karena Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda pada tahun 1833, dan Yang Dipertuan Sembahyang dihalang oleh Belanda untuk kembali ke Pagaruyung, maka Yang Dipertuan Reno Sumpu kembali ke Pagaruyung untuk menggantikan mamaknya Sultan Alam Bagagar Sah sebagai Raja Alam, sekaligus menggantikan ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang sebagai Raja Adat serta melanjutkan tugas waris ibunya Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori.

Dari jalinan peristiwa ini ternyata yang berhak menjadi raja di Pagaruyung bukan anak-anak dari Sultan Alam Bagagar Syah. Walaupun dia raja tetapi karena istrinya bukan seorang Puti Reno, maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan kedudukannya sebagai Raja Pagaruyung. Yang berhak menggantikannya sebagai ahli waris menurut acuan "Adat Rajo turun tamurun Adat puti Sundut basundut” justru Yang Dipertuan Puti Reno Sumpu, karena dia merupakan perempuan dalam garis matrlineal; ibunya adalah Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sori, saudara dari Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah dan secara patrilineal dari ayahnya Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang.

Ketika Belanda akan menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa penghulu yang dianggap sebagai tokoh pendukung perang rakyat Silungkang, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu datang menemui Belanda di Batusangkar dan menyediakan dirinya untuk menggantikan para penghulu tersebut. Akhirnya Belanda membatalkan hukuman mati kepada para penghulu tersebut. Catatan peristiwa ini telah ditulis oleh seorang penulis sejarah Rusli Amran dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu.

Antara anggota Raja Tigo Selo selalu berusaha menjaga hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan cara saling mengawini dengan tujuan untuk memurnikan darah kebangsawanan di antara mereka, juga untuk menjaga struktur tiga serangkai kekuasaan agar tidak mudah terpecah belah.

Raja Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam memutuskan hal-hal mengenai kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan,  Dalam kaba Cindua Mato kedudukan dan fungsi dari raja-raja ini dijelaskan dalam suatu jalinan peristiwa. Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang jadi Guru (PT Pustaka Grafitipers 1984, Jakarta) kaba Cindua Mato sebenarnya adalah Tambo Pagaruyung yang diolah jadi kaba. Dalam konteks ini, informasi dari kaba Cindua Mato tentang tugas raja-raja tersebut merupakan sesuatu yang dapat juga dijadikan rujukan. Sedangkan institusi untuk Raja Adat dan Raja Ibadat  disebut sebagai Rajo Duo Selo.

1.      RAJO ALAM
Pucuk pemerintahan kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung mempunyai struktur tersendiri. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh tiga orang raja; Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Masing-masing raja mempunyai tugas, kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung. Semua penjelasan mengenai kedudukan dan kekuasaan raja-raja tersebut pada dasarnya bertolak dari uraian yang ada di dalam tambo dan pada kaba Cindua Mato, karena kaba Cindua Mato dianggap sebagai tambo Pagaruyung yang dikabakan.

Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat ketiganya disebut Rajo Tigo Selo Sedangkan Raja Adat dan Raja Ibadat disebut Rajo Duo Selo Ketiga-tiga raja berasal dari keturunan yang sama. Masing-masing selalu berusaha untuk saling bersatu dalam jalinan perkawinan. Mungkin hal ini diperlukan untuk menjaga keutuhan kekuasaan Rajo Tigo Selo, dan untuk mempertahankan kebangsawan keturunan mereka.

Raja Alam merupakan kepala pemerintahan, sedangkan Raja Adat mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.

Masing-masing raja mempunyai daerah kedudukan masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Hal itu berarti bahwa Raja Adat maupun Raja Ibadat tidaklah berasal dari Buo dan Sumpur Kudus, sebagaimana pendapat sebagian orang yang kurang memahami konstelasi dan hubungan antara raja-raja tersebut.

Selain mempunyai daerah kedudukan tersendiri, Raja Alam menguasai daerah-daerah rantau. Pada setiap daerah Raja Alam mengangkat wakil-wakilnya yang diberi kewenangan mewakili kekuasaan raja disebut "urang gadang” atau "rajo kaciak”. Mereka setiap tahun mengantarkan "ameh manah” kepada raja. Daerah-daerah rantau tersebut terbagi dalam dua kawasan yang lebih luas;  rantau pantai timur dan rantau pantai barat.

Yang termasuk ke dalam rantau pantai timur adalah; Rantau nan kurang aso duo puluah (di sepanjang Batang Kuantan) disebut juga Rantau Tuan Gadih; Rantau duo baleh koto (sepanjang batang Sangir) disebut juga Nagari Cati Nan Batigo; Rantau Juduhan (kawasan Lubuk Gadang dan sekitarnya) disebut juga Rantau Yang Dipertuan Rajo Bungsu; Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sei.Tapung dan Kampar); Negeri Sembilan
Sedangkan rantau pantai barat mencangkup daerah-daerah; Bayang nan 7, Tiku Pariaman, Singkil Tapak Tuan disebut juga Rantau Rajo; Bandar X disebut juga Rantau Rajo Alam Surambi Sungai Pagu.

2. RAJO ADAT
Raja Adat yang berkedudukan di Buo adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam. Raja Adat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah peradatan, apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada persoalan adat yang tidak mungkin pula dapat diputuskan oleh Raja Adat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain.

Seorang Portugis bernama Thomas Diaz pada tahun 1684 diizinkan Belanda untuk memasuki daerah pedalaman Minangkabau. Menurut laporan Thomas Diaz, dia bertemu dengan Raja Adat di Buo. Raja Adat tinggal pada sebuah rumah adat yang berhalaman luas dan mempungai pintu gerbang. Di pintu gerbang pertama dikawal sebanyak 100 orang hulubalang sedangkan di pintu gerbang kedua dikawal oleh empat orang dan dipintu masuk dijaga oleh seorang hulubalang. Dalam menyambut Thomas Diaz, Raja Adat dikeliling oleh para tokoh-tokoh berpakaian haji. Kemudian Raja Adat memberi Thomas Diaz gelar kehormatan Orang Kaya Saudagar Raja Dalam Istana.

3. RAJO IBADAT
Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Adat yang berkedudukan di Buo. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam Raja Ibadat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah keagamaan apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diputuskan oleh Raja Ibadat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain.

*

4. BASA AMPEK BALAI
Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau Basa  yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar yang mempunyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung.

Pertama, Datuk Bandaro Putiah yang bertugas sebagai Panitahan atau Tuan Titah  mempunyai kedudukan di Sungai Tarab – dengan gelar kebesarannya Pamuncak Koto Piliang. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan. Kedua, Tuan Makhudum yang berkedudukan di Sumanik  dengan julukan Aluang bunian Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan keuangan. Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso dengan julukan Payung Panji Koto Piliang  dengan tugas pertahanan dan perlindungan kerajaan. Keempat, Tuan Khadi berkedudukan di Padang Ganting dengan julukan Suluah Bendang Koto Piliang dengan tugas mengurusi masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.

Dalam struktur dan tatanan kerja para pembesar kerajaan dalam kerajaan Pagaruyung tersebut, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto Piliang.  Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai. Tetap takluk kepada raja.

Setiap Basa, mempunyai perangkat sendiri  untuk mengurus masalah-masalah daerah kedudukannya. Masing-masing membawahi beberapa orang datuk di daerah  tempat kedudukannya, tergantung  kawasannya masing-masing. Setiap Basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut pajak atau cukai yang disebut ameh manah.
Misalnya; Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.

Cara kerja Basa Ampek Balai yang agak lengkap diterangkan dalam kaba Cindua Mato, sebuah kaba yang dianggap sebagai legenda, bahkan juga ada yang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah kerajaan Pagaruyung. Di dalam kaba Cindua Mato, Basa Ampek Balai mempunyai peranan yang cukup penting dalam menentukan sebuah keputusan yang akan diambil oleh raja Minangkabau. Menurut kaba tersebut, Basa Ampek Balai dapat diangkat dan diberhentikan oleh Bundo Kanduang atau raja Minangkabau. Kekuasaan dan kebesaran mereka semua berkat pemberian dan keizinan Bundo Kanduang.

Ketika terjadi tragedi pembunuhan raja-raja Pagaruyung dan para pembesar kerajaan di Koto Tangah dalam masa Perang Paderi, semua Basa Ampek Balai ikut terbunuh. Setelah Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah raja alam Minangkabau ditawan Belanda dan dibuang ke Betawi pada 1833, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu sebagai pengganti dan pelanjut Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah mendandani kembali perangkat kerajaan dengan mengangkat kembali Basa Ampek Balai.

Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung dengan Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, merupakan tiruan dari struktur pemerintahan kerajaan Majapahit.

Struktur ini juga dipakai sampai sekarang pada kerajaan Negeri Sembilan yang dikenal dengan istilah Undang Yang Empat. Hal itu mungkin disebabkan karena Negeri Sembilan dulunya merupakan daerah rantau orang Minang, dan tatanan sosial mereka mengikut apa yang ada di negeri asalnya, Minangkabau.

Sampai sekarang Basa Ampek Balai sudah merupakan institusi adat yang tetap diakui keberadaannya, walaupun sistem beraja-raja di Minangkabau sudah dihapuskan.

5. LANGGAM NAN TUJUAH
Di dalam sistem pemerintahan kerajaan Pagaruyung, selain adanya institusi raja, yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo dan pembantu-pembantu raja yang dikenal dengan Basa Ampek Balai, di bawah Basa Ampek Balai ada enam orang gadang yang masing-masing juga mempunyai daerah dan kedudukan tersendiri dengan tugas dan kewenangan tersendiri pula. Keenam orang besar ini bersama pimpinannya Panitahan Sungai Tarab disebut Gadang Nan Batujuah atau lazim juga disebut Langgam Nan Tujuah yang terdiri dari;

a. Pamuncak Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya di Sungai Tarab Salapan Batu, sebagai pimpinan Langgam Nan Tujuah.
b. Gajah Tongga Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya di Silungkang dan Padang Sibusuak, sebagai kurir dan menjaga perbentengan bagian selatan Minangkabau.
c. Camin Taruih Koto Piliang,  kedudukan dan daerahnya Singkarak dan Saningbaka yang bertugas sebagai badan penyelidik.
d. Cumati Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya Sulit Air yang bertugas sebagai pelaksana hukum
e. Perdamaian Koto Piliang,  kedudukan daerahnya Simawang dan Bukit Kanduang yang diberi tugas untuk menjadi pendamai dari nagari-nagari yang bersengketa.
f. Harimau Campo Koto Piliang,  kedudukan dan daerahnya Batipuh Sapuluah Koto, sebagai panglima perang.
g. Pasak kungkuang Koto Piliang, kedudukan dan daerahnya Sungai Jambu dan Labuatan dengan tugas utamanya mengawasi keamanan dalam nagari.

Christine Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada tahun 1815, sebagaimana yang juga ditulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Sinar Harapan, Jakarta 1981).

Menurut A.A.Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru (Penerbit PT Pustaka Grafiti pers, Jakarta 1984 cetakan pertama) tragedi tersebut bermula dari pertengkaran antara kaum Paderi dengan kaum adat yang diwakili oleh raja beserta pembesar kerajaan lainnya. Menurut MD Mansur dkk.dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta, 1970) perundingan tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi sebuah pertengkaran. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu terjadi juga pada tahun 18009.

Karena ikut campurnya Tuanku Lelo, salah seorang tokoh Paderi yang ambisius dari Tapanuli Selatan. Beberapa orang dari keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putra raja lainnya dituduh tidak menjalankan aqidah Islam secara benar, oleh karena itu mereka anggap kapir dan harus dibunuh. Perundingan berubah menjadi pertengkaran dan berlanjut menjadi pembunuhan. Semua rombongan raja beserta Basa Ampek Balai dan para penghulu lainnya terbunuh. Daulat Yang Dipertuan Muningsyah dapat menyelamatkan dengan cara yang ajaib sekali. Baginda  bersama cucu perempuannya Puti Reno Sori menghindar ke Lubuk Jambi Kuantan.

Menurut silsilah raja-raja Pagaruyung, Puti Reno Sori bersaudara dengan Sultan Alam Bagagar Syah, pada masa yang sama menyingkir ke Padang. Sultan Alam Bagagar Syah, Puti Reno Sori dan tiga saudara mereka lainnya adalah anak dari Tuan Gadih Puti Reno Janji dan ayahnya Yang Dipertuan Fatah. Sewaktu Sultan Alam Bagagar Syah dinobatkan menjadi raja alam menggantikan datuknya Sultan Alam Muningsyah, saudara sepupunya Sultan Abdul Jalil yang berada di Buo dikukuhkan menjadi Raja Adat dengan gelar Yang Dipertuan Sembahyang.
A.A. Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru, mencatat bahwa Daulat Yang Dipertuan Muningsyah wafat pada 1825 dalam usia 80 tahun. Baginda makamkan di pemakaman raja-raja Minangkabau, ustano rajo di Pagaruyung.

Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.

Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII  dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).

Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).

Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai  delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)

Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun  Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).

Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.

Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.

Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.

Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.

Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo.
Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.

Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut  dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.

Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.

Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.

Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.

Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.

Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.

Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari  Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh  Pagaruyung,  Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989.

(Sumber :Tambo Pagaruyung dan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib)

 

Category: Minangkabau | Views: 4939 | Added by: dash | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
dth="100%" cellspacing="1" cellpadding="2" class="commTable">
Nama *: Email:
Code *: