3:19:26 Datuk Perpatih nan Sebatang (2) | |
MENGEMBARA SAMPAI KE MANCANEGARA
Segeralah Sutan Balun turun gunung. Semula ia hendak pulang menjenguk
ibu dan adiknya, Puti Juliah tapi di tengah perjalan Sutan Balun
membatalkan niatnya. Sutan Balun menyusuri sungai. Kemudian sampai pada
sebuah padang luas, tidak ada pohon kayu di sana. Sepanjang jauh mata
memandang ia hanya melihat padang ilalang dan semak belukar.
Penat berjalan, Sutan Balun singgah pada sebuah pondok. Tampaknya
pondok itu sudah lama tidak dihuni. Ia meletakkan buntalannya, dan
menyandarkan tongkatnya di tonggak pondok. Lalu merebahkan badannya.
Tiba-tiba ia bangkit, ia memandang sekeliling padang ilalang. Tergerak
hatinya untuk berbuat sesuatu. "Saya rasa di tengah padang ini lebih
baik ditanam pohon. Tapi dari mana saya mendapatkan bibit tanaman
itu,”gumamnya.
Setelah berpikir beberapa jenak, ia ingat akan tongkatnya yang
tersandar di tonggak pondok. "Saya kira tongkat ini bisa dijadikan bibit
tanaman.” Berkata demikian, Sutan Balun segera saja memotong
tongkatnya. Kemudian ia tanamkan di halaman pondok.
Ketika potongan tongkat itu tertanam di tanah, sekonyong-konyong turun
hujan lebat. Sutan Balun terperanjat, tongkat yang ditanamnya di halaman
itu, segera tumbuh pucuk. Cepat dan cepat sekali. Kurang sepanakan
nasi, tongkat itu menjulang tinggi dan menjadi pohon rindang. (sekarang
kalau anda berjalan ke kabupaten Solok, anda melihat pohon rindang,
masyarakat di sana meyakini pohon tersebut adalah potongan tongkat Sutan
Balun atau Datuk Perpatih nan Sebatang. Saat
hujan reda, Sutan Balun segera melanjutkan perjalannya. Lama berjalan,
masuk hutan keluar hutan, naik bukit menuruni lurah, akhirnya ia sampai
ke sebuah kampung, dan menetap di sana, beberapa lama. Namanya masih
belum berubah, yaitu tetap memakai nama Sutan Balun. Tapi orang kampung
tersebut tidak mengetahui bahwa ia bangsawan atau keluarga raja. Di
kampung itu bertemu dengan Magek, tuo kampung, seorang yang disegani
oleh masyarakat itu. Katanya didengar, perintahnya diturut masyarakat
kampung itu.
Suatu hari Sutan Balun menyampaikan niatnya hendak pergi mengembara
kepada Magek. "Kamu hendak mengembara kemana Sutan. Apakah Sutan tidak
betah tinggal di sini?” Magek bertanya heran. Orang tua itu tahu bahwa
selama di kampung tersebut, Sutan Balun mempunyai hubungan baik dengan
masyarakat kampung itu. Lagi pula Sutan Balun dikenal sebagai anak muda
yang memiliki pengetahuan luas, dan budinya sangat terpuji. Bahkan
bersama penduduk kampung telah mendirikan sebuah tempat belajar
anak-anak kampung. Tempat belajar itu mereka namakan surau.
Surau itu disamping digunakan untuk belajar, juga digunakan untuk
menginap anak-anak dan pendatang yang terpasah ke kampung itu. "Bukan begitu. Saya merasa senang tinggal di sini. Tapi sebagai orang muda, di mana darah belum setampuk pinang, umur belum setahun. Pengetahuan belumlah banyak, Saya kira lebih baik merantau sambil membuka ke negeri orang.”
Magek manggut-manggut mendengar alasan Sutan Balun. "Oya, di pinggir
pantai itu saya melihat orang sedang membangun sebuah kapal. Sudah lebih
tiga bulan mereka bekerja. Barangkali jika kapal itu sudah siap, Sutan
bisa ikut berlayar,” tutur orang tua itu.
Singkat cerita, Magek membawa Sutan Balun ke pantai. Di sana banyak
orang berkumpul. Mereka sedang berusaha mendorong kapal tersebut ke laut
lepas. Tapi usaha mereka gagal. Walaupun telah dikerahkan orang
sekampung mendorong kapal tersebut, tetap saja kapal itu tidak
bergeming.
"Heran juga saya. Kenapa kapal itu tidak bergerak,” ujar Magek seraya
menoleh pada Sutan Balun. Sepertinya ia minta saran pada Sutan Balun.
Dan ia memanggil salah pembuat kapal, yang sekaligus akan menjadi
nakhoda. "Apakah kamu sudah mempersiapkan persembahan pada dewa laut.
Jangan-jangan dewa laut, tidak mau menerima kapal ini.” "Sudah Tuo Magek.Nasi kunyit, singgang ayam. Paureh dan sebagainya sudah diantaukan (dipersembahkankan) ke tengah laut,” Nangkodo menjelaskan. "Kalau begitu, datangi Angku Datu. Minta pendapat padanya,” nasehat Magek.
Malam hari Nangkodo dan Magek mendatang pondok Angku Datu. Setelah
membaca mantera, Angku Datu melihat air yang tersedia dalam tempayan.
Orang tua itu menggeleng-geleng. "Tidak mungkin. Kapal ini tidak
diterima dewa laut. Kecuali…” "Kecuali apa Angku,” segera Magek menimpali. "Temui seseorang yang bernama Sutan Balun.” "Sutan Balun?” "Ya, ia mungkin bisa mencari jalan keluar agar kapal ini diluncurkan ke laut.”
Atas anjuran Angku Datu, Magek dan Nangkodo menemui Sutan Balun. Mereka
menyampaikan pesan Angku Datuk kepada Sutan Balun. "Ya, waktu di
pantai, saya maklum bahwa kapal tersebut tak mungkin meluncur.
Landasannya harus ditukar,” kata Sutan Balun. "Jadi landasan luncuran harus diganti. Oh, kalau begitu tidak sulit,” sahut Nangkodo. "Tapi landasan luncur itu, bukan landasan sembarangan.” "Maksudnya?”
Sutan Balun memandang wajah kedua orang tersebut, berganti-ganti.
"Sungguh berat saya mengatakan kepada tuan Magek dan Nangkodo. Tuan
berdua mungkin akan kaget.”
Nangkodo mengerling pada Magek. Ia kemudian berbisik pada tuo kampung
itu. "Katakan pada Sutan agar ia menjelaskan maksudnya.” Magek lalu
mengangguk. "Begini Sutan. Kapal itu harus meluncur ke laut. Tidak ada
jalan lain, apapun syaratnya harus kita penuhi.”
Sejenak Sutan Balun menarik nafas. "Ya. Saya harus mengatakan pada tuan
berdua. Lagi pula saya pun ingin menompang dengan kapal tersebut.” "Oh, soal itu kaji menurun. Yang penting kapal itu harus meluncur ke laut. Jadi katakanlah jalan keluarnya,” ujar Nangkodo tak sabar lagi. Diam
sejenak Sutan Balun. Kemudian ia berkata perlahan,” Landasan itu adalah
seorang manusia. Itulah yang diminta oleh dewa laut.” Sunyi seketika. Magek diam. Nangkodo termanggu. "Itulah beratnya. Oleh karena itu saya bimbang mengatakannya,” kata Sutan Balun memecahkan kesunyian. Magek
dan Nangkodo berbisik-bisik sejenak. Lalu Magek berbicara,”Baiklah
kalau begitu. Besok pagi akan saya umumkan kepada masyarakat. Siapa yang
mau berkorban untuk menjadi landasan luncur kapal itu.” Esok
pagi, semua orang ramai berkumpul di pantai hendak menyaksikan
peluncuran kapal tersebut ke laut lepas. Magek maju ke depan di antara
orang ramai. Ia berkata lantang,”Wahai penduduk kampung, anak kemenakan,
ipar besan, urang semando, kaum kerabat dalam kampung ini. Kapal ini
akan segera kita luncurkan.” "Ya, luncurkanlah!’ Serentak mereka bersorak. "Tapi ada syaratnya. Kalian harus berkorban. Salah seorang dari kalian secara sukarela menjadi landasan luncuran kapal ini.” Semuanya terdiam. Lalu berbisik-bisik. Ada diantaranya yang menghindar, menjauh dari kapal. Melihat
keadaan seperti itu Sutan Balun maju mendampingi Magek. "Jika sanak
saudara enggan berkorban. Niscaya kapal ini batal meluncur. Lalu kapal
ini akan lapuk. Apakah sanak saudara tidak malu. Lagi pula kita akan
dikutuk selamanya oleh dewa laut.” Hening lagi. Kemudian bisik-bisik, desas-desas. Lalu suara bergalau bagai lalat beterbangan. Tiba-tiba
menyeruak seorang perempuan ke tengah-tengah orang ramai. "Biarlah saya
yang jadi lancaran kapal itu. Semua orang menoleh pada perempuan itu.
Perempuan itu, putri tuo Magek. Dia, Bungo. Putri tuo Magek itu tampak
sedang hamil berat. Mungkin seminggu lagi melahirkan. Semua orang
terpana akan kenekadan Bungo. Magek
mendekati putrinya. "Bungo, mengapa kamu berbuat senekad ini. Bukankah
kamu sedang hamil. Menjadi landasan kapal sebesar ini, nyawa
tantangannya,” orang tua itu memberikan pengertian. Bungo
meggeleng. "Ayah, sejak kapal ini mulai dibangun, saya memang sudah
berniat berkorban untuk kapal ini. Lagi pula semua ini untuk ayah juga.
Demi harga diri ayah. Lihatlah siapa yang mau mendengar ucapan ayah.
Ucapan ayah hanya mereka anggap angin lewat belaka.” Magek
memicingkan mata ketika kapal itu melindas tubuh Bungo. Semula ia
mengira Bungo akan hancur dilindas kapal. Ternyata perempuan itu
selamat, tidak kurang suatu apapun. Pun anaknya lahir dengan selamat.
Anak Bungo, kebetulan seorang perempuan. Sejak itulah, garis keturunan
orang Minangkabau berdasarkan garis ibuBerlayarlah
kapal tersebut hari itu juga. Kebetulan cuaca sedang cerah. Sutan Balun
walaupun diberi kamar dan perhatian istimewa oleh Nangkodo, tapi ia
tetap saja rendah hati. Ia kadang berjalan ke haluan, di sana berkumpul
penumpang lain, dan awak kapal yang memandang keindahan alam dari atas
kapal tersebut. Kesempatan
bergaul dengan penumpang dan awak kapal, dimanfaatkan oleh Sutan Balum
berbincang-bincang dengan mereka. Mereka menyadari bahwa Sutan Balun
bukanlah orang sembarangan. Lalu mereka bertanya tentang ini dan itu.
Sutan Balun menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan. Ketika
istana, ia pernah belajar ilmu pertukangan dan seni ukir. Maka dalam
pelayaran yang cukup lama ini, Sutan Balun mengajarkan kepada penumpang
dan awak kapal, ilmu pertukangan dan seni ukir.
Suatu waktu kapal tersebut berlabuh di Malaka. Nangkodo mengajak Sutan
Balun turun ke darat beserta beberapa orang awak kapal. "Nanti Sutan
akan saya perkenalkan pada sultan Malaka. Tapi sebelum itu, nama Sutan
harus diganti, agar lebih mentereng di hadapan sultan dan para
menterinya,” kata Nangkodo. "Perpatih nan Sebatang, begitu kami
memanggil Sutan nanti, di hadapan raja,” sambungnya. "Apa arti nama itu. Jangan-jangan kita mengambil nama orang lain,” tukas Sutan Balun. "Sutan saya lihat mengajarkan ilmu pertukangan dan ukiran. Alat yang sering Sutan pakai itu, namanya parapatik
(pahat pengukir). Sedangkan tongkat yang Sutan bawa itu mirip kayu
sebatang. Oleh karena itu, nama Sutan sekarang adalah Datuk Perpatih nan
Sebatang,” kata Nangkodo. Tampaknya usulan nama tersebut, disetujui
oleh mereka yang ikut bersama ke darat.
Singkat cerita, Nangkodo dan Sutan Balun serta lima orang lainnya
diterima oleh Sultan Malaka. Agaknya sebelum itu telah terjalin
persahabatan antara Sultan dan Nangkodo. Dan Nangkodo memperkenalkan
Sutan Balun kepada Sultan dengan nama Datuk Perpatih nan Sebatang.
Sultan menyapu sekujur tubuh Datuk Perpatih nan Sebatang dengan tatapan
yang penuh selidik. Menurut raja tersebut, nama yang didengarnya itu
cukup unik. Dan baru sekali ini ia mendengar. Dari pakaian yang dipakai
oleh Datuk Perpatih nan Sebatang, tampak tamunya itu bukanlah orang
biasa, gumam Sultan. "Saya ingin tahu, tuan bangsawan dari mana?” Sultan bertanya. "Saya datang dari pulau Perca. Seorang bangsawan keturunan Maharaja Diraja,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang.
Manggut-manggut Sultan. "Menurut kebiasaan, setiap tamu yang datang ke
sini harus membawa cindera mata. Dan apa cendera mata dari negeri tuan.”
Nangkodo beringsut ke depan. "Duli hamba, tuanku raja. Kami telah
menyiapkan bingkisan untuk Sultan. Kami membawa sekarung bubuk kopi.
Satu peti kapur barus. Sepundi emas dan perak,” sembah Nangkodo. "Begitukah?” "Duli tuanku.”
"Terima kasih atas barang bawaan kalian tersebut. Tapi karena tuan
Datuk Perpatih nan Sebatang ikut bersama kalian. Agaknya barang bawaan
kalian itu tampak kurang berharga.”
Kering kerongkongan Nangkodo mendengar ucapan Sultan, ia segera
menyembah dan berkata,”Ampun hamba, tuanku. Kalau barang bawaan itu
masih kurang, biarlah kami jemput ke kapal. Jika hamba boleh bertanya,
cendera mata apa yang tuanku minta dari kami?”
Sultan tersenyum. Ia berbisik pada Tun Razak, penasehat yang duduk di
samping kanannya. Tun Razak mengangguk. Ia menoleh pada Datuk Perpatih
nan Sebatang. "Tuan Datuk. Sultan ingin tiga cendera mata dari tuan.” "Boleh…boleh. Lima atau sepuluh cendera mata lagi akan kami ambilkan,” tukas Nangkodo. "Bukan engkau yang kusuruh bicara. Tapi tuan Datuk Perpatih,” ujar Tun Razak bernada keras.
"Baiklah. Jika Sultan ingin tiga cendera mata, hamba akan penuhi.
Titahkanlah, hamba akan mendengar,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang.
Yang diminta oleh Sultan, pertama angin. Kedua, barang yang memenuhi
ruangan. Ketiga, harta yang tidak pernah habis. Bila ketiga permintaan
itu tidak bisa dipenuhi Datuk Perpatih nan Sebatang, maka ia akan
dihukum pancung. "Besok malam akan kami terima di istana ini,” titah
Sultan.
Sepanjang jalan menuju kapal, Namgkodo tampak gelisah. Ia merasa
bersalah kepada Datuk Perpatih nan Sebatang, mengapa ia lancang
memperkenalkannya dengan Sultan. Akibatnya, Datuk Perpatih nan Sebatang
dalam bahaya.
Tetapi Datuk Perpatih nan Sebatang tampaknya tenang-tenang saja.
Keesokan malamnya, mereka kembali menghadap Sultan. Semua pejabat
istana, dan permaisuri serta putri raja hadir. "Tuan Perpatih nan Sebatang, sesuai dengan janji kita. Kalian harus membawa tiga permintaanku,” kata Sultan. "Ya,tuanku. Saya tidak pernah mungkir janji.” "Ya, mana tiga permintaanku itu.”
Nangkodo tampak gelisah. Keringat dingin menetes sekujur tubuh. Ia
menoleh pada Datuk Perpatih nan Sebatang. Wajah Datuk Perpatih nan
Sebatang tenang, sedikit pun tak tampak cemas. Ia mengeluarkan kipas
dari balik bajunya. "Pertama, akan saya persembahkan angin yang saya
bawa,” ujar Datuk Perpatih nan Sebatang. "Mana angin itu?”
Semua mata yang hadir di sana menatap ke arah Datuk Perpatih nan
Sebatang. Lelaki itu mendekat pada Sultan. Ia membuka kipas di
tangannya, lalu mengipaskan pada Sultan.Seberkas angin sejuk meniup
wajah Sultan "Inilah kipas, sebuah alat yang saya bawa untuk menyimpan
dan membawa angin.” Semua orang terpana. Sultan mengangguk. "Dan mana barang yang kedua, yaitu yang memenuhi seluruh ruangan.” "Baik. Tapi saya minta tuanku memadamkan lampu yang ada dalam ruangan ini.”
Sultan pun memerintahkan memadam lampu di ruangan itu. Dan ruangan itu
pun gelap gulita. Setelah suasana tenang. Maka Datuk Perpatih nan
Sebatang menghidupkan lentera yang telah dipersiapkannya. Seketika
ruangan jadi terang benderang kembali. "Inilah barang yang memenuhi
segala ruangan,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang. "Cahaya dari lentera
akan memenuhi segala ruangan. Tidak ada celah yang luput dari siraman
cahaya,” sambung lelaki itu. "Lalu apa barang yang tidak pernah habis?” Semua yang hadir menunggu jawaban Datuk Perpatih nan Sebatang.
"Barang yang tidak pernah habis adalah ilmu pengetahuan. Dia akan terus
melekat pada pemilik selama hayat dikandung badan. Ilmu pengetahuan
kian bertambah jika tuan mau memberikan atau mengajarkannya kepada orang
lain.”
Semua yang hadir di istana berbisik-bisik. Mereka kagum kecerdikan
Datuk Perpatih nan Sebatang. Sultan berbisik pada permaisuri. Lalu
berkata,” Tuan Datuk Perpatih nan Sebatang, kami semua kagum pada
kecerdasan tuan. Oleh karena itu, saya dan permaisuri ingin menjodohkan
tuan dengan putri kami, Tun Sri Kemala. Dan tuan, kami angkat jadi
menteri kebudayaan.”
Nangkodo menyikut halus Datuk Perpatih nan Sebatang.”Sungguh beruntung
tuan. Jawablah cepat,” lelaki itu mendesak Datuk Perpatih nan Sebatang.
Datuk Perpatih nan Sebatang menegakkan kepala, memandang lurus ke
depan. "Tuanku, betapa tersanjungnya hamba mendengar tawaran tuanku.
Tapi maaf beribu maaf, saya hanyalah seorang pengembara, berkelana ke
berbagai negeri. Belum saatnya saya menetap di suatu negeri. Karena
besok pagi mungkin kami akan melanjutkan perjalanan.” "Tuan Datuk Perpatih, apakah putri kami, Tun Sri Kemala kurang cantik?”
"Tun Sri Kemala seorang putri yang sangat cantik. Seumur hidup hamba
barulah kali ini, hamba melihat gadis secantik putri tuanku. Kalau ada sumur diladang, boleh hamba menompang mandi. Kalau umur sama panjang, pasti kita akan bertemu lagi,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang.
Akhirnya Sultan Malaka melepas Datuk Perpatih nan Sebatang dengan berat
hati. Sultan dan para pengawalnya mengantar Datuk Perpatih nan Sebatang
dan rombongan sampai ke kapal. "Kalau tuan Perpatih kembali dari
pengembaraan, akan menerima tuan dengan tangan terbuka,” kata Sultan.
Datuk Perpatih nan Sebatang kembali melanjutkan pelayaran. Akan tetapi
cuaca malam itu kurang baik. Lagi pula persedian air minum di kapal
habis. Terpaksalah kapal tersebut singgah di suatu nagari. Di sana ia
pun disambut dengan baik. Bahkan ia sempat mengajar tentang
adat-istiadat dan filsafat Alam. Pun ikut membangun sembilan nagari
bersama masyarakat di sana. Konon negeri itu sampai sekarang masih
memakai nama Negeri Sembilan. Dan memakai adat yang diajarkan oleh Datuk
Perpatih nan Sebatang, yang mereka sebut: Adat Perpateh. Kemudian mereka berangkat lagi, singgah di Kamboja, negeri Thai, dan akhirnya ke negeri Cina. BERTEMU DENGAN MAHARAJA CINA.
Datuk Perpatih nan Sebatang menghadap Maharaja Cina, ia diterima di
istana yang megah. Seluruh lantai istana beralaskan permadani merah.
Maharaja Diraja duduk di singgasana yang berukirkan "naga berebut
mustika”. Di kiri kanan, pada tingkat yang lebih rendah berjejer para
menteri, dan beberapa orang Kasim (orang kepercayaan raja). Sementara
itu Datuk Perpatih nan Sebatang duduk bersimpuh. Menurut peraturan
istana, tidak seorang pun dibenarkan memandang wajah Maharaja Cina. Tapi
sekilas pakaian Maharaja Cina itu bewarna kuning dengan bahan sutra
asli. Sedangkan yang lainnya, memakai pakaian, merah, ungu, dan
berkembang-kembang
"Saya sudah mendengar kecerdasanmu dari kurir kami yang berada di
negeri-negeri yang engkau kunjungi. Selentingan berita yang saya terima,
engkau adalah keturunan Maharaja Diraja dari Minangkabau.Benarkah?” "Benar, Maharaja,” sahut Datuk Perpatih nan Sebatang tanpa mengangkat kepala.
"Di negerimu, garis keturunan menurut ibu. Suatu hal yang jarang ada di
dunia ini. Bisakah kamu menjelaskan. Kenapa harus menurut garis ibu.
Padahal rata-rata suku bangsa memilih garis keturunan dari ayah,” kata
Maharaja Cina.
Merenung sesaat Datuk Perpatih nan Sebatang. Ia ingin menggeser tempat
duduknya agar lebih dekat pada Maharaja Cina. Tiba-tiba kedengaran bunyi
gemerincing pedang dihunus. "Biarkan dia lebih mendekat,” kedengaran Maharaja Cina memberi titah.
Datuk Perpatih nan Sebatang mendengar suara halus, suara pedang kembali
disarungkan. Lelaki itu kemudian berkata,”Di negeri kami, kaum lelaki
sering meninggalkan rumah. Mereka pergi berburu. Kadangkala sampai
berbulan-bulan, bahkan sampai berbilang tahun. Mereka kembali membawa
hasil buruannya, dan memberikan pada istrinya. Di rumah mereka tidak
lama, paling lama sepekan, kemudian berangkat lagi.”
"Jadi itukah yang membuat suku bangsa Minangkabau menetapkan garis
keturanan menurut garis ibu?” Maharaja Cina memotong tuturan Datuk
Perpatih nan Sebatang. "Hamba belum selesai, Maharaja.” "Teruskan ceritamu.”
"Kaum lelaki bukan saja membawa hasil buruannya, berupa daging tapi
juga binatang yang mereka tangkap dalam keadaan hidup, serta bibit
tanaman. Daging buruan tentu akan dihidangkan oleh kaum ibu setelah
dipanggang atau dimasak agar rasanya lebih gurih. Begitu pula sayuran,
pun mereka hidangkan pada suami dan anak-anak mereka. Tetapi bibit
tanaman mereka tanam di halaman rumah, atau di sawah dan ladang.
Demikian pula dengan binatang buruan yang masih hidup, kaum ibu
memelihara binatang tersebut sehingga jinak. Ayam, sapi, kerbau,
kambing, domba jadi binatang piaraan kita. Yang menjinakan adalah kaum
perempuan.”
Maharaja Cina terkesima dengan keterangan Datuk Perpatih. Ia
manggut-manggut, tanda tertarik oleh penuturan lelaki dari Minangkabau
ini. Kadangkala ia berbisik-bisik dengan permaisurinya yang duduk di
samping. Kadang menggamit salah seorang menterinya, berbicara pelan.
Kelihatan menteri itu pun manggut-manggut.
"Lalu, karena lebih banyak di rumah, kaum perempuan mengasuh anak-anak
sampai remaja. Bukankah perempuan itu mahkluk yang luar biasa. Mereka
mampu menjinakan binatang sehingga jadi binatang piaraan. Melahirkan dan
mengasuh anak, di samping melayani suami. Suami itu adalah kita, kaum
lelaki. Kalau kita mau jujur, perempuan adalah kehidupan itu sendiri.
Apakah garis keturunan menurut ibu itu suatu hal yang muskil?”
Maharaja Cina menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang istana,
menukikan pandangannya satu-persatu pada para pembantunya. Semuanya
diam, tidak seorangpun yang menjawab pertanyaan bersayap Datuk Perpatih
nan Sebatang. "Oya, menurut saya kaum perempuan itu, kaum lemah dan
manja. Bila lelaki berperang, mereka lebih dulu mengungsi. Di bumi ini,
siapa yang kuat, dialah yang jadi pemimpin. Oleh karena itu di belahan
manapun di dunia ini, garis keturunan itu menurut garis ayah atau
lelaki.” Maharaja Cina mengeluarkan pendapatnya. "Duli hamba Maharaja, bolehkah hamba lanjutkan penuturan hamba?” "Silahkan.”
"Tidak seluruhnya perempuan itu manja. Bila perang tiba, mereka pun
bisa kita ikut sertakan. Saya dengar di negeri Maharaja yang maha luas
ini, bertebaran pendekar perempuan. Bukankah mereka pendekar yang gagah
berani dan mampu berperang? Dan dampak dari sebuah peperangan adalah
kehilangan harta, kaum kerabat, suami, ayah, kakek dan sebagainya.” Maharaja menatap Datuk Perpatih nan Sebatang penuh perhatian.
"Banyak istri yang kehilangan suami karena perang. Dan istri yang
sedang hamil tua tetap setia menunggu suaminya dari medan perang.
Ternyata sang suami telah tewas di medan perang. Anak yang dikandung
perempuan itu pun lahir tanpa ayah. Maka ibu adalah bukti yang sah bagi
seorang anak, bahwa ia anak perempuan itu. Sedangkan anak tersebut
mengetahui ayahnya yang tewas di medan perang, hanyalah dari cerita ibu
atau cerita orang lain. Di negeri kami ada mamangan yang berbunyi,”Sayang ayah sepanjang penggalan, sayang ibu sepanjang jalan”.
Artinya, sayang seorang ibu tak pernah habis-habisnya. Itulah salah
satu bagian yang membuat suku bangsa Minangkabau, menetapkan garis
keturunan menurut garis ibu.”
Tiba-tiba Maharaja Cina bertepuk. Dua orang dayang datang menghadap.
"Saya terkesan akan penjelasan tamu kita dari Minangkabau ini. Wawasan
saya bertambah. Oleh karena itu kamu siapkan santapan di ruang makan
istana.” Ia memberi perintah. Kemudian mengajak Datuk Perpatih nan
Sebatang ke ruang santap.
Berbagai hidangan tersaji di meja. Meja Datuk Perpatih nan Sebatang
berhadapan dengan Maharaja Cina. Sebagai orang Minangkabau yang dikenal
memiliki "akal panjang”,
Datuk Perpatih nan Sebatang berniat melihat wajah Maharaja Cina. Semula
ia memintal-mintal mi rebus dalam mangkok, kemudian ia angkat tinggi
setinggi wajahnya. Saat itulah ia melahat wajah Maharaja. Kebetulan
Maharaja Cina pun memandang ke arah Datuk Perpatih nan Sebatang, tampak
Maharaja tersenyum ramah.
Sayang perbuatan itu diketahui pengawal raja. Dua orang pengawal maju
menyeret Datuk Perpatih nan Sebatang ke depan Maharaja. "Baginda, kami
siap menerima perintah,” ujar kedua pengawal itu serentak seraya
memalangkan pedang ke leher Datuk Perpatih nan Sebatang.
Maharaja Cina diam sejenak. Ia mengibaskan tangan, tanda agar kedua
pengawal itu beranjak meninggalkan tawanannya, Datuk Perpatih nan
Sebatang itu. Bangkit Maharaja Cina, ia merangkul Datuk Perpatih nan
Sebatang bagai sahabat lama layaknya. "Lelaki dari Minangkabau ini
memang cerdik. Dialah tamu asing yang bisa mencuri melihat wajah saya,
seorang Maharaja Cina.”
Sebelum berangkat, Datuk Perpatih nan Sebatang dipersilahkan Maharaja
Cina untuk berkeliling ibu kota. Ia bertemu dengan para biksu di kuil
Shaolin, mereka berbincang beberapa saat. Dan bertemu pula dengan
pendeta Tao, di sana Datuk Perpatih nan Sebatang pun bertukar pikiran
tentang filsafat Alam. Lalu ia pergi ke sentra-sentra kerajinan rakyat,
melihat orang membuat barang kerajinan emas dan perak, ukiran kayu,
menenun kain. Datuk Perpatih nan Sebatang banyak menimba ilmu pengeahuan
di negeri Cina ini. Akhirnya ia mohon diri kepada Maharaja Cina untuk
kembali melanjutkan perjalanan. Maharaja Cina memberi beberapa potong
kain tenunan, kain bersulam dan lain-lainnya, sebagai cendera mata. KEMBALI KE MINANGKABAU
Kapal Datuk Perpatih nan Sebatang berlabuh di Tiku bersamaan dengan
menyingsingnya fajar. Setelah mohon diri dengan Nangkodo dan anak buah
kapal lainnya, ia segera melanjutkan perjalanan. Dari sana ia terus
menuju istana, menemui ibu dan adiknya, Puti Jamilan. Datuk Perpatih nan
Sebatang memberikan oleh-oleh pada Puti Jamilan yang dibawanya dari
negeri Cina. Barang cenderamata yang oleh Datuk Perpatih nan Sebatang,
dibuka Puti Jamilan. Riang tak terperikan Puti Jamilan, betapa barang
cenderamata yang dibawa kakaknya itu beberapa perangkat pakaian
perempuan. Pakaian perempuan itu terbuat dari sutra halus dengan sulaman
indah. Kemudian terdapat pula sunting dari emas dan perak. "Alangkah baiknya kalau saya bisa membuat pakaian seperti ini,” ujar Puti Jamilan. "Kenapa tidak, bukankah kita punya penenun,” tukas Puti Juliah.
Menurut hikayat, Puti Jamilan memanggil Dayang Pandai Sikek. Puti
Jamilan menyuruh Dayang Pandai Sikek membuat tenunan sulam, seperti
pakaian-pakaian yang dibawa oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Dan hasil
karya Dayang Pandai Sikek itulah dikenal dengan kerajinan Pandai Sikek.
Keesokan hari, Datuk Perpatih nan Sebatang berjalan-jalan masuk kampung
keluar kampung. Masyarakat ramai menyambut lelaki tersebut. Pada
kesempatan itu, ia memperkenalkan gelar yang dipakainya sekarang, yaitu
Datuk Perpatih nan Sebatang. Dalam pertemuan itu, mereka menceritakan
kelakuan Datuk Ketumanggungan. "Ia bukan pemimpin yang baik. Kacak langan bak langan, kacak batieh bak batih. Beraja di hati, bersutan di mata (Kacak lengan bagai lengan, kecak betis bagai betis. Beraja di hati, bersutan di mata).” Sejak Datuk Ketumanggungan memegang tampuk pemerintahan, ia menerapkan hukum tarik balas.
Yaitu hukum balas membalas, siapa yang membunuh maka ia pun akan
dibunuh tanpa diadili. Dan kepada siapa yang membangkang terhadap
perintahnya, ia akan dimasukan ke dalam penjara. Hal ini yang membuat
rakyat gelisah.
"Tuan Datuk Ketumanggungan, sebaiknya hukum tarik balas itu, tuan
cabut. Ganti dengan yang lebih adil,” usul Datuk Perpatih nan Sebatang
ketika bertemu dengan Datuk Ketumanggungan
"Adil…Apakah hukum tarik balas itu, tidak adil menurutmu. Orang
membunuh, apakah dibiarkan begitu saja. Orang mencuri, dibiarkan saja.
Denai tidak mengerti jalan pikiranmu, ‘ ujar Datuk Ketumanggungan keras.
"Maksud denai, mereka yang berbuat kejahatan itu harus diadili lebih
dulu. Agar kita dapat mengetahui persoalan yang sebenarnya. Mungkin dia
dihukum gantung, mungkin dia dipenjara seumur hidup. Bisa juga
dibebaskan karena kejahatan yang dituduhkan kepadanya hanyalah fitnah
belaka.”
Berpikir sesaat Datuk Ketumanggungan. Kemudian berkata,”Ah, kamu
mengada-ada. Orang membunuh harus dibunuh. Orang mencuri harus diambil
hartanya.” "Bagaimana kalau tuan atau anak tuan digigit anjing. Apakah tuan akan membalas menggigit anjing itu pula?” Datuk Ketumanggungan diam. Ia lalu bangkit seraya bersungut-sungut meninggalkan Datuk Perpatih nan Sebatang.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Musim pun berlalu dengan
cepat. Suatu hari Datuk Ketumanggungan berjalan di depan rumah
Mangkutak. Tiba-tiba muncul dari halaman Mangkutak, seekor anjing.
Anjing itu tidak menggonggong, ia langsung menerkam betis Datuk
Ketumanggungan. Lelaki itu terkejut, dan memukulkan tongkatnya dan tepat
mengenai kepala anjing tersebut. Tersungkur anjing itu. Binatang itu
mati seketika. "Tuan telah melanggar hukum tuan sendiri,” kata Datuk Perpatih nan Sebatang. "Anjing itu sudah sepantasnya mati,”ujar Datuk Ketumanggungan. " Dia menggigit betis tuan. Mestinya tuan membalas dengan gigitan pula. Bukan membunuhnya.”
Kian hari perselihan antara kedua bersaudara, kian meruncing. Masing
mereka membuat sistem pemerintahan masing-masing. Sistem pemerintahan
tersebut dikenalkan dengan sistem Koto Piliang, yang digagas oleh Datuk
Ketumanggungan. Dan Datuk Perpatih nan Sebatang membentuk sistem Bodi
Caniago. Perdamaian antara kedua mereka ditandai dengan penikaman batu,
di Limo Kaum. Catatan tentang hikayat Datuk Perpatih nan Sebatang: Hikayat Datuk Perpatih nan Sebatang, semula diceritakan secara lisan atau kaba. Kemudian karena perkembangan zaman, hikayat ini ditulis dengan bahasa Melayu (Minang) dan Indonesia Seperti juga kaba,
yang disampaikan oleh "pekaba” maka hikayat tertulis tentang Datuk
Perpatih nan Sebatang pun berbeda-beda, menurut situasi yang sedang
berlaku. Seperti yang dicatat pada catatan kaki terdahulu, Datuk
Perpatih nan Sebatang bisa saja muncul pada ruang dan waktu yang
berbeda. Dalam adu kerbau, ia bersama Datuk Ketumnggungan, dan Cati
Bilang Pandai, berperan besar menggagas kerbau kecil yang diberi tanduk
besi runcing. Ia bisa muncul ketika Anggang dari Laut datang. Atau
melakukan pengembaraan ke berbagai negeri, dengan waktu yang berbeda,
ratusan tahun. Maka tak salah kiranya, kalau Rusli Amran dalam buku
Sumatra hingga Plakat Panjang, berkomentar: "Seandainya Sejarah Perang
Paderi belum ditulis, kemungkinan Imam Bonjol dapat dianggap Datuk
Perpatih nan Sebatang” (Penerbit Sinar Harapan- 1980)
sumber:tambodunia.blogspot.com | |
|
Total comments: 0 | |