3:01:02 WILAYAH MINANGKABAU | |
Wilayah
Minangkabau dilukiskan dalam Tambo secara semu, tidak mudah ditafsirkan
begitu saja. Penggambaran wilayah atau tempat-tempatnya seperti ada
dengan nyata, sehingga menimbulkan tafsiran yang berbeda di antara
penulis, di mana sebenarnya letak perbatasan wilayah tersebut.
Mirip dengan asal-usul nenek moyang Minangkabau penggambarannya, maka
wilayah negeri ini pun disampaikan dengan kalimat-kalimat semu tapi
bermakna. Seperti kita ketahui bahwa kedatangan atau tempat Maharaja
Diraja berlabuh dan pertama kali menjejakkan kakinya, dikisahkan sebagai
berikut: Di lagundi nan baselo,
dakek bukik Siguntang-guntang, di sinan lurah satungkal benang, lurah
nan indak baraia, di situ bukik nan indak barangin-barangin-angin, di
situlah banto nan barayun, di bawah batu hamparan putiah, di situlah
sirangkak nan badangkuang, di situlah buayo putiah daguak, di mano aia
basimpang tigo (Di pohon lagundi yang bersila, dekat bukit
Siguntang-guntang, di sana lurah setungkal benang, lurah yang tidak
berair, di situlah bukit yang tidak berangin, di situlah rumput yang
tidak berayun, di bawah batu hamparan putih, di situlah sirangkak yang
berbunyi, di situlah buaya berdagu putih, di sana air bersimpang tiga). Pun dengan cara demikian batas wilayah Minangkabau dikisahkan: Dari
sikilang aia bangih sampai ka taratak aia itam, dari sipisok-pisok
pisau hanyuk sampai ka sialang balantak basi, dari riak nan badabua
sampai ka durian ditakuak rajo (Dari sikilang air bangis sampai ke
taratak air hitam, dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai ke sialang
balantak basi, dari riak air yang berdebur sampai ke durian ditetak
raja).
Kemungkinan kalimat-kalimat yang disampaikan tersebut, ditafsirkan oleh
para penulis secara hitam putih, sehingga Sikilang aia bangis,
disimpulkan sebagai Air Bangis yang terletak di sebelah utara bagian
barat. Sebelah tenggara, yaitu Taratak dekat Teluk Kuantan. Di sebelah
utara dekat desa Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau.
Berikutnya di selatan, Pesisir sampai ke desa Durian dekat perbatasan
Jambi sekarang. Wilayah inilah yang sekarang menjadi wilayah Sumatra
Barat.
Namun ada penulis yang menafsirkan bahwa batas Minangkabau sampai ke
Malaysia, Negeri Sembilan. Akan tetapi kalau kita kaji menurut
kesusteraan Minangkabau, daerah yang dilukis dalam Tambo itu adalah
sebuah "Nagari Antah Berantah” Menurut AA.Navis dalam diktatnya "Adat
dan Kebudayaan Minangkabau” (terbitan INS Kayu Tanam- 1982), kalimat Sikilang air bangis
merupakan suatu pengertian yang tidak dapat dinyatakan secara konkrit.
Karena kilang (kincir) takkan dapat diputar sebagaimana mestinya, sebab
gelombangnya terlalu besar. Demikian pula dengan taratak aia itam
(taratak air hitam), jelaslah tidak mungkin orang mendirikan permukiman
kalau airnya tidak jernih. Demikian pula dengan kalimat Sialang balantak basi atau lebah bersengat besi. Seterusnya, disebutkan Riak nan berdebur,
yang artinya riak memecah pantai. Padahal riak adalah alunan air yang
ditiup angin semilir, tidak mungkin menimbulkan deburan seperti ombak
yang menghempas ke pantai. ** LARAS NAN DUO
Sistem pemerintahan Minangkabau, disebutkan dalam Tambo, menganut dua
sistem. Yakni sistem Koto Piliang dan sistem Bodi Caniago. Sistem Koto
Piliang digagas oleh Datuk Ketumanggungan, sedangkan sistem Bodi
Caniago, dikemas oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Sejarah kedua sistem
tersebut berlatar belakang perselisihan paham antara Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang (Ibu mereka sama, yaitu
Indah Juliah). Datuk Ketumanggungan, ayahnya seorang raja, yang bergelar
Sri Maharaja Diraja. Dan Datuk Perpatih nan Sebatang, ayahnya seorang
penasehat raja, yang menikahi Indah Juliah ketika sang raja itu
meninggal.
Memang kedua bersaudara tersebut sering berselisih paham, dan
kadangkala berkelahi. Tapi akhirnya Datuk Perpatih nan Sebatang, yang
masa kecil bernama Sutan Balun mengalah, ia pergi bertapa ke puncak
gunung Merapi. Selesai bertapa, Sutan Balun mengembara ke berbagai
negeri, bahkan sampai ke negeri Cina. Ketika merasa ilmu pengetahuannya
telah banyak, ia kembali ke Minangkabau.
Mendapatkan Datuk Ketumanggungan telah memerintah negeri dengan sistem
yang disebut sistem Koto Piliang, maka Datuk Perpatih nan Sebatang lalu
menggagas sistem Bodi Caniago.
Dikisahkan kedua saudara seibu ini bersilang pendapat dalam penggunaan
sistem tersebut. Gagasan Koto Piliang, Datuk Ketumanggungan dalam sebuah
mamangan disebutkan, titik nan datang dari langik (sentaralisasi). Sedangkan gagasan Datuk Perpatih nan Sebatang, disebut, aia nan mambusek dari bumi.
Mereka bertemu di suatu tempat untuk membicarakan kemandekan gagasan
mereka masing-masing. Kedua saling mengeluarkan pendapat, memberi alasan
untuk mendukung buah pikiran mereka. Datuk Ketumanggungan naik pitam
melihat adiknya tidak mau mengikuti gagasannya, ia segera mencabut keris
dan menikam sebuah batu di hadapannya. Batu itu berlobang.
Melihat perbuatan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih nan Sebatang pun
mencabut kerisnya, ia juga menikam batu tersebut. Lobang batu itu
semakin dalam. Artinya, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan
Sebatang memutuskan bahwa masing-masingnya memakai sistem mereka, di
wilayah masing-masing.
Yang perbedaan prinsip kedua sistem itu, ialah berhubungan dengan
kedudukan raja dalam pemerintahan, dan sistem pemerintahan itu sendiri.
Menurut Koto Piliang, raja adalah kepala pemerintahan menurut sistem
sentralistik, yang disebut juga dalam mamangan,”Bajanjang naik, batanggo turun”.
Dan kedudukan penghulu pun bertingkat-tingkat. Sementara itu menurut
sistem Bodi Caniago, raja adalah kepala pemerintahan menurut sistem
desentralisasi, dalam mamangannya disebut.”duduak sahamparan, tagak sapamatang”. Kedudukan penghulu pun sama derajatnya.
Pendapat saya sebagai penulis, bahwa pertentangan paham antara kedua
tokoh ini yang digambarkan dalam Tambo, hanyalah sebuah tamsilan yang
harus dipahami dengan renungan mendalam (secara tersurat, tersirat dan tersuruk). Batu yang ditikam oleh mereka hanyalah simbol bersepakat untuk tidak sepakat. Pada mamangannya disebutkan: Damalah pacah, nan bianglah tabuak Artinya, masing-masing pihak saling menghormati pendapat masing-masing. Itulah janin (embryo) dari demokrasi di Minangkabau, khususnya. Dan di Indonesia pada umumnya.
Kesepakatan antara kedua sistem tersebut, berlangsung di Limo Kaum,
yang di mana terjadi penikaman batu oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk
Perpatih nan Sebatang. Pada pokoknya: pada Nagari yang didirikan kaum
Koto Piliang maka berlaku hukum Koto Piliang. Demikian pula pada Nagari
yang dibangun oleh kaum Bodi Caniago. Setiap Nagari berhak menentukan
sistem pilihan mereka masing-masing. Pun dibolehkan pula satu Nagari
memakai kedua sistem tersebut. Penggambaran keberadaan (eksistensi) Lareh
masing-masing dalam menyusun dan mengatur pemerintahan, bahkan dalam
aristektur, keduanya memperlihatkan langgam masing-masing. Misalnya:
Nagari yang menganut Lareh Koto Piliang, membagi wilayah Nagari dalam
jumlah yang genap, yakni; IV Koto, VI Koto, atau Nan IV, Nan VI dan
seterusnya. Arsitektur Rumah Gadang dan Balairungnya mempunyai lantai
bertingkat-tingkat. Sementara itu Bodi Caniago membagi wilayahnya dengan
bilangan ganjil, seperti: Tigo Koto, Tujuh Koto, Sabaleh Lingkung, Tigo
Baleh Jorong, dan sebagainya. Aristektur Rumah Gadang dan Balairungnya
mempunyai lantai datar. DAERAH RANTAU Rantau secara etnografis, ialah wilayah Minangkabau, terletak di luar wilayah Luhak nan Tigo.
Batas-batas wilayah Rantau tergantung pada pasang naik dan pasang surut
kekuatan kerajaan di Pagaruyung. Pada mulanya wilayah Rantau merupakan
wilayah mencari kekayaan secara individual oleh penduduk, baik dalam
perdagangan, usaha dan jasa atau kegiatan lain yang sifatnya sementara.
Dalam perjalanan sejarah, Rantau menjadi semacam koloni atau berbagai
kekuasaan lain, sesuai dengan situasi politik yang berkembang pada
zamannya. Sebagai koloni sebuah kerajaan, Nagari
yang tumbuh di wilayah tersebut, dipimpin oleh seorang penguasa yang
diangkat oleh raja. Penguasa itu dijabat turun-menurun menurut garis
patrilinial dengan gelaran jabatan yang sesuai menurut langgam
tradisional yang telah ada di tempat tersebut. Seperti gelar Rang Kayo, Tan Tuah di wilayah pantai bagian timur. Rang Gadang, Bagindo di wilayah pantai bagian barat. Di samping itu ada pula yang bergelar Rajo dengan sampiran lainnya, yaitu "Mudo” sehingga menjadi Rajo Mudo dan Rajo Kaciak (Rajo Kecil). Yang menyandang gelar tersebut adalah bangsawan-bangsawan keturunan Pagaruyung.
Gelombang perpindahan penduduk ke rantau, yang demikian kian lama kian
besar, baik secara individual maupun secara berkelompok kampung atau
suku. Maka secara lambat laun Nagar-Nagari di wilayah itu tumbuh menjadi
Nagari menurut sistem di wilayah Luhak asal mereka. Oleh karenanya,
kehidupan di Nagari-Nagari di wilayah Rantau, merupakan wilayah secara
etnis. Tapi secara kebudayaan telah terjadi perbauran dengan budaya
warga setempat. Misalnya, kewajiban untuk membuat Rumah Gadang dan Balairung
menurut arsitektur Minangkabau tidak begitu ketat. Lalu gelar asal-usul
yang disandang oleh setiap lelaki yang telah menikah, yang lazim
disebut; ketek banamo-gadang bagala
(kecil bernama, dewasa bergelar) dipakai secara berdampingan- antara
gelar garis ibu dan gelar garis ayah- Kadangkala ada yang tidak.
Sehingga yang dipakai hanya gelar garis ayah. Di wilayah Pariaman –Tiku, lazim setiap lelaki yang beristri memakai gelar Bagindo, Sutan, dan Sidi,
disamping nama kecilnya. Contoh, Bagindo Ali, Sutan Umar, Sidi Ali, dan
seterusnya. Sedangkan di daerah Rantau Padang, hanya ada dua gelar,
yaitu Sutan dan Marah.
Merantau adalah produk kebudayaan Minangkabau. Setiap orang, terutama
akan senantiasa didorong dan diajak agar pergi merantau oleh kaum
kerabatnya dengan berbagai cara. Filsafat materialis Minangkabau
mendorong agar anak muda kuat mencari harta guna meningkatkan martabat
kaumnya. Sehingga setaraf dengan orang lain. Dan struktur sosial yang
dialami kamu lelaki khususnya, ikut mendorong agar setiap orang untuk
pergi merantau. Dalam pantunnya disebutkan: Karatau madang di hulu Babuah babungo balun Marantau bujang dahulu Dirumah paguno balun Apo gunonyo kabau batali Usah dipauik di pamatang Pauikan sajo di tangah padang Apo gunonyo badan mancari Iyo pamagang sawah jo ladang Nak mambela sanak kanduang Seorang lelaki muda dalam masyarakat Minangkabau, dipanggil bujang.
Seorang bujang, status sosialnya dipandang rendah atau belum sempurna
sebagai warga masyarakatnya. Dalam rapat-rapat keluarga ia belum
diikut-sertakan. Dia tidak tinggal di rumahnya tapi di surau,
yaitu suatu asrama bagi kamu lelaki. Anak muda yang disebut bujang ini,
hanya disuruh-suruh oleh keluarga atau membantu pekerjaan kaum
kerabatnya. Untuk membebaskan dirinya dari status seperti itu, jalannya
adalah pergi merantau atau menikah. Akan tetapi untuk menikah pun tidak
mudah. Keluarga dari si gadis tentu akan melihat tingkat kesejahteraan
calon menantu mereka. Justru karena itu kaum lelaki harus berusaha keras
untuk meraih kehidupan yang lebih layak, sehingga dia mampu
"menghidupi” anak gadis orang (istrinya). Rantau
merupakan daerah otonom, memiliki kewenangan sendiri mengatur
pemerintahan sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Luhak dan Rantau. Dalam
mamangan disebut: Luhak ba-Pangulu, rantau ba-Rajo. Artinya, raja berkuasa di rantau, sedangkan penghulu memegang kekuasaan atas Luhak. Daerah rantau yang didatang mereka antara lain: 1. Rantau Kampar; Rantau
Kampar meliputi daerah aliran Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Di daerah
itu terdapat nagari-nagari, seperti; Kuntu (dekat Bangkinang), Gunung
Sahilan, Muara Lambu, Muaro Takuih (Muara Takus), dan lain-lain. 2. Rantau Kuantan; .Rantau Kuantan disebut juga Rantau nan Kurang Aso Duo Puluah, dua puluh dengan Muaro. Di rantau ini terdapat nagari antara laini: Taluak, Basrah, Lubuak Jambi, Lubuak Ramo, dan berikutnya. 3. Rantau XII Koto: Rantau
XII Koto terletak di Batang Sangia, antara lain: Lubuak Gadang, dengan
Sungai Dareh. Di daerah rantau ini terdapat nagari-nagari; Siaua,
Sungai Langsek, Muaro Takuang, dan berikutnya. 4. Rantau Cati Batigo: Rantau
Cati Batigo ini terdiri dari: Siguntua (Darmasraya), Situang, Koto
Basa, arah ke Jambi. Rantau Cati Batigo terletak di Batang Hari,
merupakan sambungan dari Rantau XII Koto, terletak dari Lubuk Ulang
Aliang sampai ke Samalidu. 5. Tiku dan Pariman; Tiku dan Pariaman disebut dengan kalimat Riak nan badabua, masyarakatnya dikenal dengan Adat, "Harato pusako turun kamanakan, pusako gala kepada anak”.
Selain daerah yang disebutkan itu, daerah yang disebut rantau
Minangkabau adalah Air Bangis, Banda Sapuluah, Inderapuro, sampai ke
perbatasan Bengkulu. NEGERI SEMBILAN
Suku bangsa Minangkabau memang suku yang suka merantau, merantau ke
semenanjung Malaka, sekarang dikenal dengan Malaysia. Di sana mereka
membuka negeri baru, berkorong berkampung, bersawah berladang,
bersemanda-menyemanda dengan penduduk asli yang mereka tepati.
Sesuai dengan pepatah petitih dan filsafat Alam takambang jadi guru,
mereka mampu menyesuaikan diri dengan penduduk asli yang mereka datangi.
"Di mano bumi dipijak, di sinan
langik dijujuang. Di mano aia disauak, di sinan ranting dipatah.
Dunsanak ditinggakan di kampung halaman, dicari pulo dunsanak di
rantau.” Dalam pengertiannya, mereka tidaklah mengusik adat
kebiasaan penduduk yang mereka tepati. Tapi kalau ada yang kurang maka
coba menawarkan apa pengetahuan yang mereka miliki.
Justru karena itu masyarakat pribumi merasa nyaman bergaul dengan orang
Minangkabau. Dan lambat laun makin tertanam empati pribumi kepada
mereka, sehingga Adat suku bangsa Minangkabau pun dapat diterima
masyarakat pribumi. Konon dalam perantau tersebut anak kemenakan
Minangkabau ikut serta membangun sembilan nagari (Negeri Sembilan). Dan
mereka yang berasal dari Minangkabau sampai sekarang masih memakai Adat
yang diturunkan oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka tetap "basuku-bapusako, baniniak-bamamak, basawah-bapamatang, baladang-babintalak” Helat dan pernikahan kawin, bertegak rumah dan jelang-menjelang, tetap menurut Adat Minangkabau, yang lumrah mereka sebut Adat Perpateh.
Negeri Sembilan pernah diperintah sampai tiga kali oleh raja yang
berasal dari Pagaruyung (1773-1824), yaitu Raja Malewar, Yang Dipertuan
Hitam, Yang Pertuan Lenggang.
Konon suku bangsa Minangkabau datang ke Negeri Sembilan dalam empat
gelombang atau rombongan. Gelombang pertama dipimpin oleh seorang datuk
yang bergelar Datuk Rajo dengan istrinya Tok Seri. Mereka menuju Negeri
Sembilan melewati Siak, menyeberangi selat Malaka. Lalu terus ke Johor,
dari Johor bergerak ke Naning lalu ke Rambai. Terakhir menetap di sebuah
tempat, yang disebut Londar Naga. Menurut cerita rakyat di sana, dulu
di kampung ini dilewati oleh seekor naga, sehingga membentuk alur-alur.
Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.
Rombongan kedua, kebetulan juga bergelar Datuk Rajo. Ia berasal dari
keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini
menetap di Kampung Layang. Berikutnya, rombongan ketiga dari
Batusangkar, keluarga Datuk Mangkudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang
bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Di Negeri Sembilan,
mereka membuat sebuah kampung, yang kemudian dikenal dengan nama Tanjung
Alam. Lalu berganti pula jadi Gunung Pasir.
Gelombang keempat, datang dari Sarilamak (Payakumbuh), yang dipimpin
oleh Datuk Putih. Rombongan itu menepati Sutan Sumanik, yang telah dulu
menetap di sana (Negeri Sembilan) Datuk Putih dikenal sebagai seorang
pawang dan ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri menanti
bagi tempat istana raja di negeri tersebut.
Setelah empat gelombang orang Minangkabau itu, datang lagi rombongan
berikutnya dalam catatan sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang
bermula mendiami Rambau adalah dari Batu Hampar, Payakumbuh, dengan
pengikutnya dari Batu Hampar juga dan dari Mungka. Pemimpin rombongan
itu adalah Datuk lelo Balang. Lalu ia disusul oleh adiknya, yang bernama
Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Ninik. Masyarakat
Adat di Negeri Sembilan berdasarkan kerakyatan menurut paham atau
ajaran yang mereka sebut Adat Perpateh tersebut. Sementara itu sistem
pemerintahannya, :”bajanjang naik, batanggo turun”, menurut Adat
Tumenggong (Ketumanggungan). Dalam pada itu Basa Ampek Balai yang pernah di Minangkabau dahulu, masih ada sekarang di sini, dengan nama "Undang Yang Empat”.
Suku-suku dipimpin oleh Datok, kampong dan nagari terhimpun ke dalam
Undang Yang Empat .Dan dalam acara menabalkan dan mengangkat pucuk bulat (pimpinan) Negeri Sembilan diadakan upacara Payung Panji Marawa Gadang. Kemudian diangkatlah Yang Dipertuan Sri Menanti sumber:tambodunia.blogspot.com | |
|
Total comments: 0 | |