3:16:15 Datuk Perpatih nan Sebatang (1) | |
Orang Minangkabau sangat mengenal sekali tokoh yang bernama Datuk
Perpatih nan Sebatang ini, ia dimasa kecilnya bernama Sutan Balun.
Menurut Tambo, Sutan Balun bukanlah anak raja, ayahnya seorang penasehat
raja yang dikenal dengan nama Cati Bilang Pandai.
Untuk mengenal Sutan Balun, Sejenak kita hendaknya lebih dulu mengenal
akan silsilah atau garis keturunan yang bermula dari Maharaja Diraja dan
istrinya, Indah Julito. Dikabarkan, Maharaja Diraja mempunyai sepasang
anak, seorang lelaki (yang sulung) bernama Suri Dirajo, sedangkan yang
perempuan bernama Indah Juliah. Indah Juliah menikah dengan Ruso nan datang dari lauik, makuto nan bacabang tigo (Rusa yang datang dari laut, mahkotanya bercabang tiga). Dan Ruso nan datang dari lauik itu kemudian bergelar Sri Maharaja Diraja. Setelah Dari perkawinan tersebut maka lahirlah Maha rajo Basa, setelah dewasa ia dikenal sebagai Datuk ketumanggungan.
Setelah Maharaja Diraja wafat, Indah Juliah menikah dengan Cati Bilang
Pandai. Mereka melahirkan seorang putra, bernama Sutan Balun, yang kelak
dikenal dengan nama Datuk Perpatih nan Sebatang. Dan seorang perempuan
bernama Puti Jamilan
Sebagai putra kedua, dan bukan putra raja, Sutan Balun memang terkesan
dalam perhatian dalam kerajaan. Sejak masa kanak-kanak sampai dewasa,
Sutan Balun selalu bertengkar, bersilih paham dengan saudaranya, Maha
raja Basa atau Datuk Ketumanggungan.
Layaknya seorang putra raja, Raja Basa (Datuk Ketumanggungan) mempunyai
seekor ayam jantan. Ayam jantan tersebut dikurung dalam kerangkeng
bambu, diletakkan di halaman Istana. Kadangkala Raja Basa membawa ke
gelanggang penyabungan untuk diadu dengan ayam lain. Ayam jantan
kesayangan Raja Basa tidak pernah kalah, selalu menang dalam gelanggang
aduan.
Suatu hari Sutan Balun berjalan-jalan di halaman Istana. Ia tertarik
melihat ayam jantan milik Ketumanggungan. Ayam jantan tersebut
berputar-putar dalam kerangkeng bambu itu. Dan Sutan Balun
menjentik-jentik jemarinya, ayam jago itu mengepakan sayapnya. Lalu
Sutan Balun membuka kerangkeng bambu, ia bermaksud hendak melihat lebih
dekat ayam jago tersebut.
Malang tak dapat ditolak, ayam jago Ketumanggungan melompat dari tangan
Sutan Balun. Ayam jantan tersebut lepas menghambur, semula hinggap pada
pagar. Kemudian berkokok panjang, dan lari ke semak belukar.
Terperangah Sutan Balun. Tentu Ketumanggungan akan marah padanya,
karena ia telah melepaskan ayam jago tersebut. Kebetulan Ketumanggungan
keluar dari istana, ia melihat ayam jagonya tidak ada dalam kerangkeng.
Seraya saja ia menghardik Sutan Balun, "Balun kau apakan ayamku!”
Gugup seketika Sutan Balun. Ia merasa bersalah telah melepaskan ayam
kesayangan, kakaknya. "Maafkan saya, tuan Tumenggung. Saya tidak
sengaja, Biarlahlah saya cari ayam itu,” ujar Sutan Balun.
Namun Ketumanggungan tetap menerima. Ia memungut sepotong kayu, dan
mendadak ia memukul kepala Sutan Balun. Serangan mendadak itu tidak
diduga sama sekali oleh Sutan Balun, ia terlambat berkelit sehingga
keningnya dihantam potongan kayu itu. Darah bercucuran di kening Sutan
Balun.
Saat itu Indah Juliah, ibu mereka berdiri di teras istana. Perempuan
itu segera turun ke halaman, melerai kedua orang anaknya, yang siap
hendak berkelahi.
"Bunda, Sutan Balun sungguh keterlaluan. Ayam jago saya ia lepaskan
dari kerangkeng,” Ketumangungan segera mendahului mengadu.
"Bunda, memang saya bersalah. Saya tidak sengaja melepaskan ayam tuan
Tumenggung. Tapi ia telah melukai saya,” ujar Sutan Balun. Ia terus
menutup keningnya yang luka, darah bercucuran di sela-sela jarinya.
Indah Juliah menggelengkan kepala, ia cemas melihat kening Sutan Balun
yang terluka. Kemudian perempuan itu menoleh pada Tumenggung, yang
berdiri acuh tidak acuh. "Tumenggung…mestinya kamu tidak ringan tangan
pada saudaramu sendiri,” Indah Juliah segera membimbing Sutan Balun naik
ke istana.
Konon sejak itu, Sutan Balun selalu kelihatan memakai destar. Destar
tersebut dipakainya untuk menutup luka di keningnya. Dan ia jarang
kelihatan berada di istana, Sutan Balun lebih suka menyendiri, berjalan
ke lembah-lembah, ke pinggir sungai, bahkan duduk sendiri di atas bukit.
Akhirnya Sutan Balun menghilang dari istana. Tidak seorang tahu ke mana
ia pergi.
BERTAPA DI PUNCAK MERAPI
Dalam perjalanannya menyendiri, Sutan Balun suatu hari tertidur di
bawah pohon beringin yang daunnya rindang. Tidak berapa lama, ia tidur
merebahkan diri di bawah pohon beringin itu, Sutan Balun bermimpi, ia
didatangi oleh almarhum ayahnya, Cati Bilang Pandai.
"Anakku, Sutan Balun. Ayahanda tahu kamu sedang sedih dan gelisah. Tapi
janganlah engkau turutkan sedih dan gelisah itu. Orang yang selalu
sedih dan gelisah, bisa sesat jalan. Oleh karena itu pergilah engkau ke
puncak Merapi,” Cati Bilang Pandai berpesan.
Selesai menerima pesan ayahnya dalam mimpi, Sutan Balun tersentak dari
tidurnya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, jangan-jangan ayahnya itu masih
ada di sekitar itu. Ternyata tidak ada siapa-siapa. "Ayahanda!” Sutan
Balun berteriak sekuat suaranya. Namun tidak ada jawaban, kecuali gaung
suara teriakannya yang kembali bersiponggang. Ketika itu sedang tengah hari, matahari seperti bertengger di atas kepala. Sedang litak-litak anjing
berjalan. Panas terik menyiram tubuh Sutan Balun yang melangkah menuju
gunung Merapi. Tekad Sutan Balun memang sudah bulat, ia harus mencapai
puncak Merapi, dan bertapa di sana sesuai dengan Cati Bilang Pandai,
ayahnya itu.
Memang selama ini Sutan Balun belum pernah naik ke gunung Merapi, hanya
mendengar dari mulut ke mulut bahwa di puncak Merapi bersemayam para
dewa, disamping itu di sana bertempat tinggal jin dan peri atau makhluk
halus. Namun karena ia telah mendapat mimpi dari ayahnya, Sutan Balun
tidak peduli. Lagi pula hatinya sedang risau gelisah.”Buat apa saya di
istana, kalau hanya akan dilecehkan oleh Tumenggung. Biarlah badan
terbuang. Biarlah jin dan setan akan melahap diri ini, dari pada harga
diri ini dilecehkan orang,” gumam Sutan Balun seraya mendaki gunung
tersebut.
Sutan Balun berjalan menapaki gunung tersebut. Kadangkala, ia harus
memanjat tebing, kadang menuruni lembah. Penat mendaki ia berhenti
barang sejenak. Lalu kembali mendaki.
Suatu ketika, ia duduk melepaskan lelah. Sambil melepaskan lelah, Sutan
Balun memeriksa buntalannya, ada dua buah pinyiram dan setabung air,
yang tadi disiapkannya sebelum mendaki. Ia makan sebuah pinyaram itu,
cukuplah penangkal laparnya menjelang ke puncak gunung. Tiba-tiba angin
semilir bertiup, angin yang disertai hujan gerimis. Kabut menjalar di
sekitar pinggang gunung tersebut. Pemandangan Sutan Balun jadi terhalang
oleh kabut, yang semakin lama semakin tebal.
Akhirnya Sutan Balun memutuskan untuk menunda perjalanannya. Ia duduk
di atas batu berselimut sarung. Udara pun mulai terasa dingin. Dan malam
pun tiba. Halimun melayang di antara gelapnya malam.
Di antara gelap, halimun yang menyebar di pinggang gunung itu, Sutan
Balun merasakan dingin merasuk ke dalam tulang-belulangnya. Ia berusaha
mengusir dingin dengan mengepalkan tangan. Tapi dingin terus menjalar ke
sekujur tubuhnya tanpa tertahankan.
Tidak berapa jauh, dari tempat duduk Sutan Balun, di balik halimun
tampak sosok samar-samar. Kian mendekat sosok yang seakan-akan
berselimut halimun tersebut. Sosok itu melayang, tidak berjejak di
tanah. Bau semerbak harum menjalar sekitar itu. Aroma bunga dan kemenyan
bercampur baur. Pun kedengaran bunyi puput salung mendayu-dayu.
Mata Sutan Balun menangkap sosok tersebut. Semula ia melihat bayang
putih di antara halimun. Tak lepas pandangan Sutan Balun dari sosok
tersebut. Ternyata sosok itu adalah seorang perempuan berambut panjang.
Rambutnya menjela ke tanah. Samar-samar lelaki itu melihat wajah cantik
perempuan itu. "Tuan, Sutan Balun. Kemarilah,” ujar perempuan itu. Suaranya merdu bak buluh perindu.
Berdetak keras jantung Sutan Balun mendengar suara itu. Seakan-akan
suara merdu tersebut hendak menarik lelaki ini, mendekati perempuan
tersebut. Sutan Balun menarik nafas dalam-dalam, mengatur nafas.
Sepasang kakinya yang tadi hendak bergerak mengikuti ajakan perempuan
itu, kini kembali terpaku bertahan di atas batu tempat duduknya. "Siapa engkau. Kenapa engkau tahu namaku.”
Berderai gelak perempuan itu dalam kesunyian malam. "Sutan Balun, saya
adalah Puti Kambang Baiduri, ratu gunung ini. Dan tidak sulit bagi saya
untuk menebak siapa kamu. Bukankah kamu anak Indah Juliah dan Cati
Bilang Pandai…” "Kamu memang benar. Tapi apa maksud kedatanganmu.”
Lagi-lagi berderai gelak ketawa Puti Kambang Baiduri. "Maksud saya
hendak mengajak engkau ke istanaku. Rakyatku pasti senang menerima
kedatanganmu.”
Diam sejenak Sutan Balun. Berpikir ia. Lalu berkata,”Terima kasih Puti
Kambang Baiduri. Saya akan segera ke puncak gunung Merapi. Lain kali
kalau ada waktu, saya bisa singgah ke istanamu, " jawab Sutan Balun
seraya bangkit dari tempat duduknya.
Tiba-tiba sepasang mata Puti Kambang Baiduri menyala-nyala. Ia
membentangkan sepasang lengannya, menghalangi jalan Sutan Balun. "Hai
lelaki bodoh. Lihatlah halimun di sekitar engkau. Halimun itu adalah
lasykarku. Bila engkau menolak. Maka engkau diseret ke dalam jurang!”
Halimun pecah menjadi berpuluh-puluh bagian, kemudian menjelma menjadi
sosok peri. Puluhan perempuan berwajah cantik mengepung Sutan Balun. "Tangkap dia!”
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya dari Puti Kambang Baiduri,
puluhan lasykar peri itu segera menghambur ke arah Sutan Balun. Sutan
Balun berkelit, ia berkelabat di atas kepala para peri tersebut.
Sementara itu Puti Kambang Baiduri pun berkelabat menyerang Sutan Balun
membantu layskar-lasykarnya.
Heboh di pinggang gunung Merapi. Malam yang tadi sunyi, kini terdengar
teriakan-teriakan, cabang-cabang pohon bergoyang, tanah bergoyang. Dan
sesekali kedengaran gelak berderai Puti Kambang Baiduri. Gelak berderai
itu kedengaran sampai ke kaki gunung Merapi.
Penduduk yang tinggal di kaki gunung tersentak dari tidur. Ketika
mereka mendengar gelak ketawa, dan hiruk pikuk, bulu roma mereka berdiri
ketakutan. Sehingga semakin membungkus tubuhnya dengan selimut
rapat-rapat. Hampir sepenanakan nasi,
pertarungan itu belum juga berakhir. Puti Kambang Baiduri dan lasykar
belum mampu menangkap Sutan Balun. Lelaki itu amat gesit berkelabat ke
sana-sini. Dalam kabut itu, dia bertengger di atas pucuk pohon. Dan
ketika Puti Kambang Baiduri melesat mengejar, Sutan Balun mengibaskan
sarungnya. Angin kibasan sarung tersebut menimbulkan angin berhawa
panas. Terperanjat
Puti Kambang Baiduri, ia tidak menyangka Sutan Balun menyerangnya
secepat itu. Ia tidak sempat berkelit. Bahunya disambar angin pukulan
sarung Sutan Balun. Perempuan itu jatuh ke tanah bagai cubadak masak (nangka masak). Terhenyak di tanah Puti Kambang Baiduri beberapa jenak. "Puti…” "Puti baik-baik saja?” "Cederakah Puti?”
Beberapa orang lasykar mendekati ratu mereka. Mereka cemas. Tapi tidak
lama kemudian, Puti Kambang Baiduri bangkit. "Di mana Sutan Balun?” "Dia sudah lari, Puti.”
Geram bukan main Puti Kambang Baiduri mendengar Sutan Balun lolos dari
jeratannya. Ia meraung panjang. Dan rauangannya itu disambut oleh
lolongan anjing hutan. ** Sutan
Balun tiba di puncak Merapi. Ketika itu ayam berkokok di kejauhan,
lelaki itu duduk termanggu pada sebuah batu besar. Ia memandang daerah
sekitarnya, memandang langit. Langit yang seakan-akan terjangkau oleh
tangan. Akhirnya ia mendapatkan sebuah gua, untuk bertapa. Cukup nyaman
gua tersebut, di tengah-tengah ada sebuah batu hamparan untuk tempat
bersemedi.
Empat puluh hari lamanya, Sutan Balun bertapa dalam gua tersebut.
Bermacam-macam godaan muncul tatkala ia bertapa. Ular besar melilit
tubuhnya agar menghentikan tapanya. Namun Sutan Balun tetap bersiteguh.
Kemudian datang pula jin dan peri. Ada yang berbentuk makhluk aneh,
bertubuh pendek dengan kepala besar dan taring menyembul. Jin berkepala
besar itu datang ramai-ramai seraya bertengger di atas kepala Sutan
Balun. "Aku telan engkau, Sutan Balun.” "Ayo bangun. Kalau tidak, kami jadikan sate!”
Malah ada pula yang mengelitik Sutan Balun. Tapi Sutan Balun tetap
bertahan sampai ayam berkokok. Ketika malam tiba, datang lagi makhluk
lain mengganggu. Seekor harimau melompat hendak menerkam. Tetap saja
Sutan Balun tak tergoda. Setelah harimau menghilang, muncul lagi makhluk
yang berbau busuk, melebihi busuk bangkai.
Pada malam keempat puluh, seekor gagak hitam bertengger di atas kepala
Sutan Balun. Beberapa jenak kemudian gagak hitam itu menjadi perempuan
cantik. Harum bau tubuhnya semerbak. Ia mencium sekujur tubuh Sutan
Balun, sambil membisikan rayuannya agar mau bersebadan dengan dia. Anjing hutan melolong. Sahut bersahut di luar sana.
Tiba-tiba fajar menyingsing. Ayam berkokok. Dan perempuan itu
menghilang bersama rintihan pilu karena ia gagal menghentikan tapa Sutan
Balun. Sutan Balun membuka matanya, ia melihat ayahnya, Cati Bilang
Pandai berdiri di hadapannya. Orang tua itu memakai jubah putih dengan
sorban di atas kepala. Ia tersenyum pada Sutan Balun.
"Anak denai, Sutan Balun. Empat puluh malam sudah engkau bertapa di gua
puncak Merapi ini. Engkau telah melewati ujian dan godaan. Sudah
saatnya engkau turun gunung.” "Tapi ayahanda, Saya masih betah di sini.”
"Tempat ini hanya sebuah tempat perenungan. Bukan akhir dari perjalanan
hidupmu. Memisahkan diri dari masyarakat tidaklah baik terlalu lama.
Segala ilmu dan pengalaman yang engkau dapat di sini, harus kau ajarkan
kembali. Lihatlah alam sekitarmu. Dari alam yang ada sekitarmu kamu bisa
menimba ilmu. Jadikan alam terkembang ini guru”
Orang tua itu memberi sebatang tongkat kepada Sutan Balun. "Ambillah
tongkat ini. Siang engkau pertongkat, malam engkau perbantal. Ia dapat
membantumu berjalan ke arah yang benar, dan menuntunmu bila tersesat di
jalan. " Setelah Cati Bilang Pandai menyerahkan tongkat tersebut, ia pun
menghilang. sumber:tambodunia.blogspot.com | |
|
Total comments: 0 | |